Sesampainya di rumah, Aku ingin sekali memberitahukan hal ini pada Mama, saudara kembarnya ternyata ada disini selama ini, meskipun Ia sudah tiada. Tetapi saat ini bukanlah saat yang tepat. Mama belum benar-benar pulih, Aku akan menyimpan foto ini baik-baik dan suatu saat nanti akan ku tunjukkan pada Mama, pasti Mama sangat senang mendengar berita ini.
Matahari kembali ke peraduannya, tiba-tiba saja terdengar suara Mama dari luar.
“Jannah, Ayah. Sini, makan malam sudah siap nih. Ayo kita makan!”
“Mama,” ucapku.
Aku bergegas ke luar kamar menuju suara itu. Suara yang ku nantikan selama lebih dari 30 hari ini. Aku seaakan tidak percaya. Ayam tersenyum sumringah melihat keadaan Mama yang udah mulai membaik.
“Kok malah bengok Nduk … nduk, sini duduk kita makan sama-sama, ” seru Mama.
“Mama yang nyiapin semua ini untuk kita? Sejak kapan? Bukankah tadi Mama di kamar saat Aku pulang?”
“Ya, Mama memang di kamar, istirahat sebentar setelah menyiapkan semuanya.”
“Alhamdulillah,” aku beranjak dari tempat duduk dan memeluk Mama dengan erat.
“Terima kasih Mama. Mama is the best!
“Lah … ini apa ini kok malah peluk-pelukan. Buruan, perut Ayah sudah keroncongan. Nah tuh, tuh, dengarkan cacingnya pada demo.”
Kami sekeluarga tertawa lepas, penuh kebahagiaan. Di saat-saat itu ucapan Mama sejenak menghentikan makan malam kami. Ia menyebut-nyebut nama Randi. Ternyata Mama masih belum sembuh total.
“Randi kemana ya, jam segini kok belum pulang, apa dia lagi di jalan.”
“Mama makan saja dulu, nanti jika Randi pulang Ayah panggil Mama.”
“Bener ya Yah, jangan sampai lupa loh. Kasian nti dia kelaparan.”
Raut wajah Ayah berubah menjadi sedih. Aku yang sedari tadi memerhatikan Ayah mencoba menenangkannya.
“Hmmm….masakan mama enak ya Yah? Nih tambah lagi sayurnya Yah, supaya Ayah semakin sehat dan semangat kerjanya, ya kan Ma?”
“Ya, nasi nya juga tuh tambah lagi Yah, Ayah kan paling suka sama ikan gurame panggang,” sahut Mama
“Masakan Mama memang top deh,” ucap Ayah menganggukkan kepala.
“Selesai makan, rapikan semua piring ya Nduk? Cuci dan jangan lupa siapkan satu piring bersih di atas meja, nanti Randi pulang dia bisa langsung makan. Mama mau istirahat dulu di kamar.”
“Ya Ma.”
“Yah, aku ada kabar penting nih,” seru ku mendekati Ayah yang sedang mencuci tangan dan akan beranjak pergi dari kursi makannya.”
“Berita penting apa?”
“Ayah ke ruang Tv ya, ntar aku nyusul.”
Ayahpun menuju ruang Tv, dan aku merapikan meja. Setelah selesai semuanya, aku menemui Ayah dan menunjukkan foto Mama dan saudara kembarnya.
“Ini kan? Ini … ini … kamu dapat dari mana foto ini Nduk?” tanya Ayah penasaran.
“Ya, aku tahu maksud Ayah kok, ini saudara kembarnya Mama, namanya Ayu Nindia Larasati kan Yah? Foto ini aku dapatkan dari salah satu temanku di sekolah. Ayah masih ingat gak, yang pernah aku ceritain ke Ayah, wajah seorang anak yang mirip denganku dan usia kami pun sama.”
“Ya, ya, ya. Ayah ingat. Oh … jadi maksud kamu anak yang di foto itu anaknya dek Laras? Terus sekarang dia tinggal di mana? Mana alamatnya? Ayo kita kesana.”
“Sabar dulu Yah, tante Laras sudah meninggal enggak lama setelah kepergian anaknya Vio. Kabarnya sih, suami tante Laras sudah menikah lagi dan enggak tahu tinggal dimana saat ini, jadi buat apa kita cari tahu Yah?”
“Ya, setidaknya suami tante Laras itu tahu bahwa kita sudah berada di kota ini, dan mungkin saja dia juga sedang mencari Mama saudara kembar istrinya, Ayah yakin itu.”
“Ya juga ya Yah, ya sudah besok Aku cari tahu infonya ya Yah, jika sudah pasti aku akan segera memberitahukan Ayah.”
Ketika menuju kamar, Ayah menghentikan langkah ku. Ia mengingatkan ku bahwa jangan memberitahukan hal ini pada Mama, dan aku pun menuruti perkataan Ayah.
*****
Besok ada pelajaran Matematika, setelah itu Bahasa Indonesia. Bisa enggak sih langsung Bahasa Indonesia aja, aku paling anti dengan Matematika. Tetapi enggak apa-apa juga sih, kan ada si Purple, eh Selena maksudnya. Dia kan jago banget Matematika, otaknya encer enggak seperti aku. Sekarang saatnya aku tidur, karena besok juga jadwal piket ku wajib datang lebih awal. Oh ya, bagaimana kabar Akuang ya. Ah sudahlah, ngapain juga aku mikirin orang seperti Akuang.
Suara ketukan pintu membangunkan ku. Terdengar teriakan Mama berualang kali menyebut-nyebut namaku.
“Jannah … Jannah … jannah, bangun Nduk, lihat sudah jam berapa ini? Kamu enggak ke sekolah?”
“Ya Ma … Jannah sudah bangun kok, ini lagi siap-siap berangkat.”
“Mampus! Aku telat, aduhhhh …. gimana ini. Hari ini kan aku piket. Pasti Jessy si mulut ember itu merepet tanpa spasi. Ah biarin aja lah, yang penting aku tetap ke sekolah.”
“He, anak baru kamu enggak lihat jam? Sudah jam berapa ini? Tega ya. Membiarkan aku membersihkan ruang ini sendirian? Emang kamu tidur jam berapa tadi malam? Kerjakan apa kok sampai telat? Pati kamu main hape terus kan? Tik tokan? Main games? Baca buku? Atau kebanyakan nonton drama korea?”
“Ya ampun Jessy, banyak banget pertanyaan mu, itu nanya atau merepet? Ngomong kok tanpa spasi, mending kamu tarik nafas dulu deh. Sahut Angeline.
“Lagian ya, yang piket kan bukan hanya kalian berdua, tuh masih ada Natania, Riana dan juga Kelvin. Riana juga telat piket kok, kenapa hanya Jannah yang kamu repetin?” lanjutnya.
“Terus aja bela-belain si anak baru ini,” ucap Jessy kesal.
Dari kejauhan aku melihat Akuang menuju kelas, tetapi dia malah ke lantai atas. Aku tahu pasti dia menemui Kelly, lantas apa peduli ku. Akhir-akhir ini aku terus saja memikirkannya padahal dia sudah sering meyakitiku bahkan kejadian kemarin sudah membuatku yakin kalau Akuang itu memang kasar, cowok dingin yang enggak peduli sama cewek, tetapi semalam Akuang perhatian kok, buktinya dia takut aku kenapa-kenapa.
“Huh .... masih pagi, jangan melamun. Akuang memang seperti itu, sebelum ke kelasnya, pasti dia ke kelas atas dulu nemui Kelly. Penasaran ya?” Selena membuyarkan lamunanku.
“Penasaran? Yey … bodo amat, emang aku peduli? Mau dia nemui Kelly, mau dia nemui Kello, mau dia nemui hantu belau sekalipun aku enggak peduli.”
“Hantu belau? Hantu apa itu? Emang ada ya?”
“Hahahahahahaha, ya enggak ada itu cuma sekedar candaan ku aja Selena si ratu purple. Eh, ngomong-ngomong, tas baru lagi nih? Jepit rambut baru, cincin baru. Emmm …. Emmm … emmm …” seruku mengalihkan pembicaraan.
“Ya nih, saya tuh enggak bisa nahan diri pingin beli jika lihat yang baru-baru berwarna purple gitu, ya udah saya ambil aja. Bagus kan jepit rambutku, lucu kan ada boneka kecil di atasnya.”
“Ya, bagus kok.”
“Eh …. Jannah, kemarin ada kejadian apa di rumah Akuang?” tanya Angeline.
Retinaku mendadak beralih ke arah Jackson yang sedang duduk di sudut ruang kelas dekat jendela. Sepertinya Ia sengaja memalingkan wajahnya saat dia tahu bahwa saat ini aku membutuhkan penjelasannya mengenai pertanyaan yang dilontarkan Angeline.
“Jannah, jawab dong, kenapa kamu diam aja? Jangan-jangan benar ya ada kejadian seru semalam,” lanjut Angeline
“Kejadian apa sih? Biasanya setiap ada kejadian apa pun tentang Akuang, sekolah ini sudah pasti heboh. Apalagi tuh si Hutri, si cowok biang gosip, titik,” ejek Selena.
Kami pun tertawa ketika Selena menirukan kata-kata Hutri.
“Nah, itu berarti emang enggak ada kejadian apa-apa kan? Ya udah, kita siap-siap untuk berbaris di lapangan. Aku penasaran kita nyanyi apa hari ini,” ucapku
“Nyanyi? Itu lagu Inla Jannah, ya memang sih seperti nyanyian juga, isinya tentang pesan-pesan moral, nilai kehidupan dan budaya semesta melalui aktivitas seni budaya dan pendidikan untuk mewujudkan keluarga, masyarakat, bangsa, dan dunia yang harmonis. Intinya sih mencintai alam dan sekitarnya,” jelas Selena
“Yups, Selena memang pintar,” lanjut Angeline.
“Sejak sekolah disini, aku suka dengar lagu-lagu inla kalian, liriknya itu loh benar-benar menyentuh hati banget, bahasanya juga indah.”
“Ya lah Inla gitu loh. International Nature Loving Association.” Gaya Selena dengan nada Inggris nya.
“Ye lah tuh …” seru kami bersama-sama.
*****
Hari ini bu Maya mengajar tidak semangat, tumben biasanya bu Maya penuh energi sampai-sampai aku yang tadinya mengantuk jadi terbelalak melihat semangatnya. Kali ini kami hanya diberikan tugas mengerjakan soal latihan.
“Kali ini Ibu tidak memberikan materi baru ya, kalian kerjakan saja tugas-tugas yang ada di halaman 76 bagian C. Ibu sedang tidak enak badan.”
“Kenapa datang Bu, Ibu izin saja istirahat di rumah,” Jackson membuka pembicaraan.
“Kalau di rumah Ibu semakin sakit Nak, di sekolah Ibu kan bisa lihat kalian beraktivitas, lihat wajah kalian, tawa kalian, senyum kalian, yah … semoga saja Ibu cepat sembuh,” Ledek Cello si mata hampir segaris.
“Cello! Enggak baik ngomong seperti itu, enggak sopan tau!” cetus Akuang kesal.
“Enggak apa-apa kok Akuang, Ibu enggak marah kok. Bener yang dikatakan Cello. Tetapi enggak baik juga kalau di biasakan ya Cello,” jelas Bu Maya
“Ya Bu, Cello mohon maaf.”
Bu Maya menggangguk-anggukkan kepalanya pertanda bahwa Ia memaafkan ucapan Cello.
Sembari mengerjakan perintah Bu Maya, aku melirik-lirik ke arah Akuang.
Aneh, seperti tidak ada kejadian. Di sekolah dingin, kaku, seolah enggak mau di ganggu. Tetapi kalau di luar seolah penuh perhatian, ramah dan baik pula. Dasar cowok aneh! Gumamku dalam hati.
“Jannah … jannah. Ya ampun, kamu melamun ya?” Selena memanggil kesal.
“Ha, kamu dari tadi manggil aku ya.”
“Bukan manggil lagi, saya hampir teriak loh. Enggak enak aja sama Bu Maya karena dia lagi sakit. Ngelamunin apapan sih? Ada sekitar 3 menit saya panggil kamu, kamu hanya diam.”
“Enggak ada kok, aku tuh lagi mikir apa jawabannya, gitu.”
“Jawaban? Jawaban yang bertuliskan aneh di bukumu itu.” Seru Selena senyum-senyum
“Aneh? Oh … ini, anu itu tadi aku …”
“Ih … ngomong apa sih kamu Jannah, aneh.”
“Ya itu, jawabannya memang aneh, enggak nyambung ya.”
“Tau pun …. tak tau tak ape.” Sambung Angeline dengan bahasa Melayu.
“Fokus Jannah, fokus. Kerjakan soalnya, jawab dengan bagus bukan malah menghayal.” Lanjut Angeline dari belakang bangku ku.
“Hssssstttttt berisik tau! Saya jadi enggak bisa konsen nih, dengar suara kalian!” lanjut Jackson.
“Halah …. Alasan! kamu nguping kan? Ya kan? Ngaku? ayo, ngaku?” ledek Selena
“Heh cewek purple, emang saya seperti tetangga sebelah? Enggak banget deh.”
Selena pun tersenyum-senyum ketika Jackson mengatakan tetangga sebelah. Ia jadi teringat Hutri, si cowok gosip.
“10 menit lagi tugasnya di kumpulkan ya? Kumpulkan saja semuanya dengan Akuang, nti antar ke ruang guru,” ucap bu Maya.
“Siap Bu, apa Bu Maya perlu saya belikan obat di kantin Bu biar cepat sembuh.”
“Enggak usah Nak, bentar lagi Ibu juga sembuh kok.”
Tuh kan bener, Akuang itu emang perhatian disaat orang susah, dia punya jiwa penyanyang kok, aku yakin sekali itu terlebih setelah mendengar ucapannya saat ini.
Bel istirahat berbunyi, seluruh siswa berhamburan keluar kelas menuju berbagai tempat. Ada yang ke kantin, taman kecil sekolah, ruang guru, atau tetap berada di ruang kelas.
Aku, Selena, dan Angeline ke kantin. Sesampainya di sana, aku merasa heran karena tidak ada sepotong ikan atau ayam, yang lebih mengherankan lagi mereka mengatakan bahwa itu ikan atau ayam, tetapi bentuknya aneh. Ternyata sekolah tempat aku belajar vegetarian. Mereka tidak makan makanan yang berdarah atau bernyawa.
“Kok enggak ada ikan ya, lebih banyak sayuran,” cetus ku
“Ya, memang enggak ada. Kami kan vege, jadi enggak makan makhluk hidup yang bernyawa,” jelas Selena
“Oh, gitu ya. Aku baru tau nih ada sekolah yang vegetarian. Unik juga ya, makanan nya banyak sayuran yang beraneka macam. Jadi tambah sehat dong.”
“Ya Jannah, kalau kamu mau coba ayam vege, nih aku traktir deh gratis buat kamu. Rasanya juga enggak jauh beda dengan ayam asli kok.”
“Wah … kreatif ya, emang kamu pernah makan ayam Selena?”
“Pernah dong, dulu. Sekarang saya udah memutuskan untuk vegetarian. Sudah 4 tahun.”
“Hmmmm …. hebat kamu. Kalau aku sih pasti enggak sanggup.”
“Enggak apa-apa Jannah, yang penting di lingkungan sekolah tidak boleh membawa makanan yang non vege ya.”
“Oke sip.”
Ketika aku sedang menikmati makanan vegetarian, Akuang datang menghampiriku. Jantungku berdegup kencang, rasanya sama seperti aku mengikuti perlombaan baca puisi tingkat nasional tahun lalu di Bandung.
“Ntar pulang sekolah, tunggu saya di gerbang ya. Ada yang ingin saya tanyakan ke kamu,” seru Akuang.
“A … Akuang, tunggu!” teriak ku.
Ia pun berlalu pergi begitu saja, sebelum aku menjawab ya atau tidak.
Dasar cowok Egois, berkata semaunya, bertindak seenaknya. Emangnya siapa dia ngatur-ngatur aku. Eh, tunngu dulu kok aku penasaran ya kenapa Akuang meminta ku menunggunya, gumamku dalam hati.
“Ehem … ehem … bakalan ada yang nge date nih ntar pulang sekolah,” ledek Angeline.
“Ya, sepertinya ada yang jadian,” kata Angeline.
“Jadian? Emang nya kamu enggak cemburu kalau Akuang pacaran sama Jannah,” lanjutnya.
“Ya, enggak lah. Jannah kan sahabat saya jadi yah enggak perlu cemburu. Lagian saya tuh udah mati rasa dengan Akuang,” jelas Selena.
“Yakin?” ucap Aneline seakan masih meragukan dengan tatapan serius.
“Sudah … sudah, kita kan lagi makan kok malah ribut. Enggak baik loh di depan makanan kita ribut-ribut. Sebentar lagi bel masuk, buruan habiskan makanannya,” seru ku.
Kami pun melanjutkan kembali menikmati makanan yang sudah di pesan tadi. Waktu tersisa 5 menit sebelum bel berbunyi. Kami bersiap-siap menuju kelas, langkah kaki seakan tidak pada tempatnya sampai aku tersandung, aku lupa kalau sebelum masuk kelas ada anak tangga yang harus di lewati terlebih dahulu. Pikiranku mendadak kacau, seperti ada suara-suara yang terus bertanya-tanya.
Tanpa sengaja, Akuang juga menuju kelas entah dari mana dia datang, ternyata kata teman-teman sedari tadi dia sudah berada di belakangku dan akhirnya Akuang lah yang menahan badanku agar tidak terjatuh. Mereka yang menyaksikan kejadian itu tersenyum dan ada juga yang menertawakan.
“Kalau jalan itu lihat-lihat dong. Kamu kan sudah hampir satu bulan sekolah disini, masih belum sadar ya.”
“Akuang. Kenapa tiba-tiba kamu disini, bukannya kamu tadi pergi ya setelah menemui ku di kantin, terus kamu enggak istirahat? Enggak makan? Atau hanya diam di kelas?” ucapku yang semakin enggak karuan.
Akuang hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan melanjutkan kembali langkah kakinya menuju kelas.
“Jannah … kamu ini ngomongin apaan sih, kok enggak jelas gitu. Kamu grogi ya di depan Akuang,” bisik Selena.
“Entahlah, aku juga bingung.”
“Jangan-jangan, jangan bilang kamu jatuh cinta Jannah,” Angeline membelalakkan matanya.
“Jatuh cinta apa? Mana mungkin aku jatuh cinta. Aku tuh paling anti sama yang namanya bucin tau!”
“Hati-hati dengan omongan sendiri loh Jannah, kalau kata Bu Maya itu kemakan cakap. Yah itu lah.”
Aku hanya tertawa mendengar ucapan Angeline berusaha menutupi wajahku dengan berpura-pura membaca buku Bahasa Indonesia.
Jam menunjuk kan pukul 13.30 WIB, saatnya para siswa pulang ke rumah masing-masing. Seperti kata Akuang bahwa dia akan menungguku di gerbang sekolah.
“Jangan lupa, saya tunggu di depan gerbang. Hurry Up!” ucapnya menyenggol pundakku.
Ku langkahkan kaki ku secepat-cepatnya, aku tak mau Akuang lebih dulu sampai.
“Hei Jannah, mau kemana? Buru-buru banget sih,” teriak Selena.
“Selena, kamu lupa ya perkataan Akuang tadi di Kantin, mereka kan udah janjian,” kata Angeline merapikan buku-bukunya.
“Oh ya, ya. Mereka mau kemana ya, Angeline?”
“Mana saya tau. Kamu kepo ya.”
“Enggak kok, Cuma heran aja kok Akuang bisa bersikap seperti itu ke Jannah, sementara ….” Selena menghentikan ucapannya.
“Sama kamu enggak, ya kan?” sambung Angeline.
“Ah, sudahlah. Enggak penting!”
*****
“Ayo buruan naik, ntar anak-anak pada kepo!” teriak Akuang padaku.
Aku yang saat itu bingung gimana cara naik motornya yang tinggi itu tanpa menyentuh bahu Akuang. Ku coba berkali-kali tetap saja aku hampir terjatuh.
“Kalau mau pegang ya pegang saja. Memangnya salah ya. Pilihan ada dua, mau jatuh atau pegang bahu saya. Enggak usah gengsi.”
Mataku menoleh ke kanan dan ke kiri, takut kalau-kalau ada Kelly atau antek-anteknya melihatku dan pasti jadi tambahan bahan gosip. Tapi ya sudahlah, biarkan saja. Toh aku juga enggak ada hubungan apa-apa kok.
“Kita mau kemana sih?” tanyaku penasaran
“Makan,” jawab Akuang ringan seringan kapas.
“Makan? Makan dimana? Bukannya tadi kamu ke kantin.”
“Ke kantin kan cuman mau ngucapin omongan yang harus saya omongin.”
“Aku enggak ngerti, maksudnya?”
“Ya sudah, enggak usah di bahas. Saya akan ajak kamu ke suatu tempat yang unik.”
“Unik, tempat apa?”
“Sudahlah, jangan banyak tanya nanti juga tau kok.”
Akhirnya kami sampai di tempat yang dikatakan Akuang. Pandanganku terkagum ketika melihat suasana warung atau tempat makan yang disebutkan Akuang tadi, ku baca papan nama yang bertuliskan Warung Vegetarian, kemudian ucapan selamat datang oleh penjamu tamu. Wah … ini pertama kalinya aku berada disini, tempat orang-orang berkulit putih. Wajahnya bening-bening. Segar mata memandang.
Aku di sambut dengan sepasang penjamu tamu yang cantik dan ganteng lengkap dengan pakaian berciri khas suku Tiong Hoa, berbaju merah ditambah pemanis konde yang mempercantik wajah Cece dan kipas yang di pegang Koko nya di tangan kanannya.
Ya ampun….gantengnya koko itu, wajahnya mulus banget. Gumamku dalam hati sembari tersenyum-senyum.
Warung ini di dominasi warna merah, di atasnya ada berbagai bentuk lampion, ada dari kertas angpao, ada dari kertas kado da nada juga yang penuh dengan lampu berputar-putar, unik sekali. Selain itu ada juga beberapa tulisan Mandarin yang menggantung-gantung yang aku sendiri enggak paham maknanya apa.
Di sekitar warung ada pohonan kecil yang mengelilingi, didnding-dindingnya terbuat dari bambu ditambah ornamen-ornamen yang menghiasi. Di sudut warung itu ada satu ruangan khusus yang membuat aku penasaran. Ruangan itu sepertinya sengaja di buat untuk sepasang kekasih yang sedang memadu asmara. Suara gemericik air yang keluar dari mulut naga semakin membuatku penasaran dan rasa-rasanya ingin sekali ke tempat itu.
Sepertinya Akuang sudah sering makan disini, hal ini terbukti dari penjamu tamu, orang-orang yang berada di warung sampai chef nya pun seperti tidak asing berbicara dengan Akuang. Mereka seperti membicarakn hal penting. Seketika aku sibuk memperhatikan sekeliling, tiba-tiba saja Akuang menghilang. Seorang gadis yang hampir seumuran denganku mengantarkan ke tempat yang ku inginkan.
“Mari Kak. Koko Akuang meminta saya untuk mengantarkan Kakak ke ruangan yang ada di sudut sana.”
Aku yang saat itu masih terheran dan bertanya-tanya dalam hati dimana Akuang, tetapi karena keinginanku ku langkahkan kaki bersama gadis itu menuju tempat yang ku inginkan tadi.
Ini kan tempat orang yang sedang memadu kasih, apa yang akan dilakukan Akuang disini, mengapa ia memintaku datang ke tempat ini. Sebenarnya ada apa ini? Batinku.
Tak berapa lama kemudian pertanyan-pertanyaan yang ada di benakku mulai terjawab. Akuang datang dengan pakaian yang berbeda, tidak lagi dengan baju seragam sekolah tetapi baju yang sama seperti Koko tadi yang menyambutku saat pertama kali. Aku terpaku melihat Akuang berdiri di depanku. Jantungku serasa mau copot melihat wajahnya yang enggak kalah ganteng dengan Koko itu. Dia memandangku seperti ada yang ingin disampaikan. Oh .. perasaan apa ini, jangan bilang kalau aku semakin terkagum-kagum dengannya.
Aku berusaha damai dengan suasana hatiku saat ini, ku tarik nafas dalam-dalam lalu ku hembuskan kembali. Tanpa sengaja yang ku lakukan itu terdengar oleh Akuang.
“Kamu kenapa bengong, tarik nafas lagi. Ayo duduk. Emang kamu lihat apa, lihat hantu? Atau kamu terpesona lihat saya ya?” perkataan Akuang membuat perasaan ku semakin tidak mementu.
“Ih … enggak usah ge-er ya, B aja tau. Aku tuh cuma kagum aja sama tempat dan suasana disini, rasanya nyaman banget. Orang-orangnya juga ….”
“Juga apa? Ganteng, itu maksudmu kan?” Akuang menghentikan ucapanku.
“Kamu juga, buat apa pakai baju seperti itu. Mau jadi waiters?”
“Ya, hari ini saya akan melayani kamu dengan makanan Vegetarian. Apa pun yang ingin kamu makan, nanti akan saya ambilkan.”
“Ha … apa? Enggak salah ini. Kamu mau melayani Aku. So sweet banget Akuang. Makasih ya.”
“Jangan berharap lebih, yang saya lakukan ini hanya sebatas mengobati rasa bersalah saya waktu itu, saat kamu berada di rumah saya. Tanpa sengaja wajahmu terluka kan karena perkelahian kami. Nah hari ini, saya akan memperbaiki kesalahan itu.”
“Oh … oke. Tetapi baju kamu, tempat ini, sepertinya ini bukan hal yang biasa-biasa aja.”
“Sudahlah, jangan banyak omong. Cepat pesan saja makanannya saya sudah lapar. Lihat di menu, banyak menu disana dan yang perlu kamu tau rasanya juga enggak kalah enak sama seperti makanan yang kamu makan bisanya.”
“Hmmm … oke, saya pesan sate vege 1, mie ayam vege 1, trus sama satu lagi nih. Ini yang bentuknya lucu dari sayur sawi, lengkap dengan saos sambalnya ya.”
“Oh … itu namanya siomay sawi isi tahu, rasanya lezat. Kamu ini satu orang tapi banyak yang di pesan.”
“Eits … jangan komen. Bukankah hari ini kamu mau memperbaiki kesalahan kan? Ya udah, turutin ja apa mau ku, dan GPL alias gak pakek lama.”
Akuang pun berlalu dan tanpa berkata sedikitpun. Hari ini dia terlihat sangat manis, tanpa membuat kesal. Tidak pernah ku rasakan se spesial ini sebelumnya, karena memang belum pernah ada orang yang memperlakukan ku seperti ini.
Saat menunggu makanan yang ku pesan. Tiba-tiba Ayah menelpon dan bertanya aku ada dimana, dan ku jawab dengan apa adanya. Alhamdulillah Ayah tidak marah dan Beliau hanya mengingatkanku agar tidak terlalu lama pulang.
Makanan pun datang. Aku tersenyum-senyum ketika melihat Akuang datang membawakan makanan yang ku pesan. Kali ini dia tidak sendiri, ada dua orang waiters bersamanya. Yang satu membawakan makanan, dan satunya lagi membawa Jus dengan hiasan buah kiwi di pinggiran gelas.
“Loh, kok makanan nya jadi semakin banyak. Aku kan enggak pesan ini Akuang, ini apa ya? Bentuknya mirip udang.”
“Ya memang udang, udang vege.”
Kami mulai menikmati makan siang berdua di tempat yang nyaman, angin sepoi-sepoi, dan suara gemericik air.
“Gimana rasanya, enak kan? Bener kan yang saya omongin. Rasanya enggak jauh beda dari aslinya.”
“Ya, ya bener. Hebat kalian Akuang, bisa masak seperti ini. Ini terbuat dari apa ya? Aku pingin coba.”
“Dari tepung. Mau coba? Lain kali kita kesini lagi ya, nanti kamu belajar masak sama cece yang ada di belakang. Cece Juliana namanya.”
“Wah … sepertinya kamu paham banget ya dengan warung ini Akuang, kamu sering makan disini ya?”
“Ya. Sudah-sudah, jangan bicara sambil makan enggak baik. Habiskan makanannya setelah ini saya antar kamu pulang.”
Beberapa saat setelah makanan hampir habis, gawai Akuang berbunyi. Musiknya romantis, sepertinya lagu mandarin. Karena aku belum pernah dengar musik yang seperti itu. Sayup-sayup ku dengar pembicaraan mereka, meski enggak ngerti tetapi sepertinya Akuang menjelaskan sesuatu. Setelah menutup telpon. Ia lalu memanggil salah satu nama dari pelayan warung itu dan memerintahkan sesuatu. Ku lihat pelayan itu menggangguk-anggukkan kepala menyetujui perintah Akuang.
Kenapa pelayan itu menuruti Akuang, lantas siapa Akuang? Apa dia pemilik warung ini? Ya, pasti dia pemiliknya. Tetapi waktu itu? Bukankah waktu itu aku pernah melihat Akuang tinggal bersama seorang nenek di rumah gubuk yang hampir roboh. Jangan-jangan nenek itu nenek Akuang yang tidak tinggal serumah dengan mereka. Kelihatannya mereka sangat akrab.
Bersambung ke bag 5
Posting Komentar
Posting Komentar