Siang itu panas. Suhunya hingga 30 derajat Celcius, langkahku gontai seakan tidak merasakan panasnya mentari. Yang ada di pikiranku adalah bagaimana mungkin wajahku mirip dengan Vio. Apa mungkin kami punya saudara keturunan Tiong Hoa, kalaupun ada mengapa Ayah dan Mama tidak pernah cerita apa-apa.
Sampai di rumah nanti akan ku tanyakan pada Mama, tidak, tidak. Mama baru saja kehilangan dedek Randi, aku tidak mau membuat beban baru Mama. Akan ku tanyakan pada Ayah saja.
“Assalamualaikum”
“Waalaikum salam, sudah pulang, Nduk?” Ayah keluar dari kamar.
“Mama mana Yah? Masih di kamar?”
Ayah hanya menganggukan perkataan ku dan tidak ada jawaban apa-apa. Aku sangat mengerti bagaimana perasaan Ayah dan Mama tentang kepergian Randi. Randi tewas karena ikut tawuran dengan teman-temannya. Mama sangat syok ketika mendapat kabar bahwa Randi di temukan tidak bernyawa lagi.
Bagaimana mungkin, anak seusia Randi ikut tawuran bersama teman-temannya yang lain. padahal usianya masih 13 tahun. Seharusnya Randi memikirkan masa depannya, tetapi nasib berkata lain. Allah mengambil nyawa Randi secepat ini, itu yang membuat Mama masih belum mau membuka mulutnya.
*****
“Kamu pasti belum makan kan Nduk? Sini makan sama Ayah.”
Sejak Randi tidak ada, aku merasa sangat kesunyian. Satu-satunya saudara kandungku terpaksa pergi meninggalkanku jauh, sangat jauh dan tidak akan kembali lagi. Momen yang sulit aku lupakan saat makan bersama seperti ini. Biasanya Mama selalu mendahulukan Randi dari pada Aku, dan Randi yah dia usil selalu mengambil lauk ku dan langsung habis di makannya saat itu juga. Randi juga suka menjilati jari-jarinya sehabis makan.
Karena kerinduanku padanya, Aku sengaja mengingatkan momen itu pada keluarga kami, terutama pada Mama.
“Nduk, itu lauk terakhir Ayah loh, tega kamu ya membiarkan Ayah makan hanya dengan nasi putih.”
“Pakai garam enak Yah, ditambahkan dengan Jelantah dan ikan asin, wow…mak nyos.”
“Oalah Nduk…nduk…kelakuanmu itu loh, persis karo adekmu, Ran…” Ayah terdiam sejenak.
“Randi. Kamu sudah pulang Nak? Dari mana saja kamu?” Tiba-tiba saja Mama bersuara dan keluar kamar.
Mama terdiam dan mulai menangis bahwa yang Ia tunggu-tunggu itu hanyalah hayalannya saja. Mama pun kembali ke kamar, air mata nya jatuh hingga membasahi baju yang ia kenakan saat memeluk Randi untuk terakhir kalinya.
Ku peluk Mama erat-erat dan ku bisikan di telinganya “Aku dan Randi sayang mama.”
Air mataku tak terbendung saat mama membalas pelukanku, pelukan hangat yang selama 60 hari ini tidak ku rasakan seperti dulu.
“Ma. Mama sayang sama Aku dan Randi kan? Kalau Mama sayang ikhlaskan Randi Ma, Ia akan tenang jika Mama tidak menangisi kepergiannya. Aku yakin kok Randi juga sangat sayang sama Mama, tetapi kalau Mama terus-terusan seperti ini Randi pasti sedih Ma, Ia akan marah jika Mama terus mengurung diri di kamar.”
“Maafin Mama ya Nak? Maaf…”
Akhirnya Mama mengeluarkan suaranya. Ini pertanda baik bagi kami, itu artinya Mama sudah mulai mengerti akan keadaan sekarang ini. Meski Mama belum banyak ngomong setidaknya Ia membalas ucapanku. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah.
Ayah mengintip kami dari luar kamar, Ia menunjukkan jempolnya padaku lalu menghapus air matanya.
Karena keadaan mulai membaik, aku mencoba menanyakan hal yang mengganggu pikiranku dari awal, Vio. Gadis itu. Gadis yang wajahnya mirip sekali denganku.
“Ayah, ada yang ingin ku tanyakan Yah, Ayah harus menjawabnya dengan jujur ya?”
“Apa sih yang mau kamu tanyakan Nduk? Harus jujur pula, oke lah nti Ayah jawab jujur, apa itu?”
Aku pun menanyakan hal itu dan menunjukkan foto Vio yang ku pinjam dari Selena.
“Yah, apa kita punya saudara keturunan Tiong Hoa? Di sekolah ada siswi yang sangat mirip denganku Yah, ini fotonya. Sayang sekali anak itu sudah meninggal karena terjun dari lantai sekolah. Teman-teman juga mengira aku keturunan Tiong Hoa karena kulitku putih.”
“Sepengetahuan Ayah, Mamamu punya saudara kembar waktu tinggal di Bandung, tetapi Ayah tidak tahu bagaimana keadaannya, siapa namanya, dan dimana dia sekarang? Kabar terakhir yang Ayah tahu dari Mamamu, saudara kembarnya itu pindah ke Riau menjadi Budha.”
“Budha Yah, Riau, apa mungkin…siswa itu?”
“Saudara kita maksudmu, Ayah enggak bisa pastiin juga, karena kita kan belum lama tinggal di sini, Riau itu kan luas juga Nduk? Nti kita tanya Mama yah jika Mama udah sehat?”
Aku hanya menganggukan kepala sembari memandangi wajah Vio yang ada di foto itu, sempat terbesit di pikiranku kalau Vio itu mungkin anak Bibi ku saudara kembarnya Mama, tetapi Mama tidak pernah cerita sama sekali mengenai hal itu.
Aku sangat berharap semoga Mama cepat sembuh. Bukankah dokter mengatakan hanya perlu sedikit waktu untuk mengembalikan keadaan Mama seperti dulu lagi. Kami akan berusaha sebaik mungkin agar Mama beraktivitas seperti sedia kala. Memasak makanan kesukaan kami, membuat kue, bercanda dan tertawa bersama.
Kota ini memang sangat asing bagiku, meski terpaksa lama kelamaan aku pasti terbiasa dan mampu menyesuaikan diri. Aku suka dengan udaranya yang sejuk dan mengurangi polusi. Kediaman kami tidak jauh dari kota tetapi masih dikatakan daerah pedesaan. Uniknya desa ini air nya itu berwarna merah, kata warga disini air itu merah karena tanah disini berwarna merah dan banyak akar pohon. Air nya sanagat jernih dan tidak berbau hanya bisa digunakan untuk mandi dan mencuci. Sementara kalau untuk diminum, kami biasanya membuat tempat penampungan air untuk menampung air hujan. Air hujanlah air minum kami. Karena itulah air hujan sangat berharga disini, sebab jika musim kemarau datang, menurut warga setempat terpaksa air merah itu yang menjadi air minum.
Suara gawai mengagetkan ku, ku lihat Jackson memanggil berulang lagi. Karena ingin tahu Aku pun menjawabnya.
“Hallo Jannah…kamu bisa datang ke sekolah sekarang?”
“Ada apa Jackson? Baru juga sampai rumah.”
“Udah, gak usah banyak tanya. Saya tunggu sekarang ya.”
Dengan tergesa-gesa, Aku pun berlari sekencang-kencangnya hingga akhirnya tiba di sekolah. Ternyata Jackson sudah menantikan Aku di depan pagar sekolah.
“A…a…ada apa Jackson?” nafasku terengah-engah menanyakan apa yang terjadi.
“Nanti saja, ayo naik ke motorku kita ke rumah Akuang.” Pinta Jackson
“Ke rumah Akuang, mau apa kita kesana?”
“Akuang ngamuk, dia seperti orang kerasukan.”
“Ha…mengamuk? Kenapa? Orangtuanya ke mana?”
Angin berhembus sangat kencang karena Jackson melaju dengan cepat, hingga suara Jackson tidak begitu kedengaran. Ku turuti saja perintah Jackson, Ia menelponku itu berarti Ia percaya padaku bahwa Aku mampu membantunya dalam masalah ini. Kami pun tiba di rumah Akuang. Suara pecahan-pecahan kaca terdengar dari luar, anehnya tidak ada orang satupun di rumahnya maupun di luar rumah, benar-benar sepi.
“Aku dan Jackson memberanikan diri untuk masuk kerumah Akuang dan menghampirinya.”
“Sadar Jackson, sadar! Apa yang kamu lakukan?”
Akuang sama sekali tidak menggubris perkataan Jackson. Dengan sekuat tenaga Aku menamparnya dan akhirnya Akuang menghentikan semuanya. Ia lantas memeluk ku dan berkata maafkan saya Vio, maafkan saya. Saya tidak bermaksud seperti itu, saya mencintaimu Viorensia.
“A…A…Akuang, maaf Aku bukan Vio tetapi Jannah, Nur Jannah.”
Mendengar ucapanku, Akuang menghempaskan tubuhku ke Sofa.
Jackson yang melihat kejadian ini marah. Ia pun langsung memukul Jackson, mererka berkelahi, satu pukulan mendarat di pipi Akuang. Akuang membalas, Jackson tidak terima lantas Ia menambah pukulan di bagian yang lain. Mereka semakin tidak terkendali, Aku yang menyaksikan kejadian itu menjadi histeris dan memecahkan salah satu frame yang ada di rumah Akuang.
“Diam! Berhenti! Sudah cukup!” teriak ku.
Dan akhirnya mereka berdua berhenti. Sesaat Akuang tersadar dan mendadak lembut padaku.
“Kamu tidak apa-apa Jannah? Ya ampun, tanganku terluka. Mungkin ini terkena goresan kac farme itu, sebentar ya saya akan obati luka kamu!”
Aku hanya terdiam dan menarik nafas lega sekaligus heran, ini kah Akuang yang ku kenal itu? Cowok dingin berwajah oriental dan tubuh seperti atletis? Aku serasa tidak percaya. Saat Akuang pergi mengambil obat luka untukku, Aku dan Jackson membersihkan serpihan-serpihan kaca yang berserakan di lantai. Ku pungut foto yang terlepas dari frame itu. Mataku terbelalak, detak jantungku seakan tidak menentu, nafasku tidak beraturan.
“M….mama.” Ucapku terbata-bata.
“Mama? Mama siapa? Itu kan foto mamanya Vio bersama saudara kembarnya di Bandung. Tetapi sekarang mama Vio sudah meninggal. Sejak kejadian itu, mama Vio stress berat, dan akhirnya meninggal. Kamu kenal sama perempuan yang disebelah mama Vio?” jelas Jackson.
“Ya, beliau Mamaku.”
“Mama kamu? Itu artinya kamu dan Vio?” tanya nya heran.
“Antar Aku pulang Jackson. Sekarang!”
“Sekarang? Tetapi lukamu?
“SEKARANG!”
“Baiklah, baik. Ayo.”
“Hei…kalian mau kemana? Tunggu! Luka Jnnah belum di obati.” teriak Akuang dari dalam rumah.
“Tidak apa-apa, kami izin pulang ya, jaga dirimu baik-baik. Jangan aneh-aneh.”
Aku dan Jackson meninggalkan rumah Akuang dengan membawa foto itu bersamaku. Akan ku tunjukkan pada Ayah.
Selama di perjalanan, Jackson terus bertanya mengenai Mama. Aku memintanya untuk merahasiakan hal ini dari siapa pun, Jackson akhirnya menyetujui permintaanku.
Bersambung ke bag 4
Posting Komentar
Posting Komentar