..

Cerita Horor-Kumbarin


“Baiklah anak-anak sekalian, sampai disini dulu materi kita hari ini tentang drama. Nah tugas kalian adalah membuat drama dalam bentuk video dan diselesaikan secara berkelompok sesuai dengan kelompoknya masing-masing. Ibu beri waktu dua minggu untuk menyelesaikannya. Ada yang ingin bertanya mengenai tugas kita?” jelas bu Sinta selaku guru bahasa Indonesia. 



Dari jauh terdengar suara keriuhan beberapa siswa mendiskusikan kerja kelompok mereka, hingga akhirnya Toni mengangkat tangan dan bertanya. “Bu, apakah dramanya bebas? Boleh gak jika kami bermain drama horor bu? Kami juga sudah berdiskusi mengenai hal ini dan kelompok kami ingin mengangkat tema ini bu. Saya rasa itu cukup mengasyikan bu," dan seketika ruangan hening mendengar Toni mengatakan horor.


“Boleh saja jika kelompok kalian bersedia, tapi ingat jangan sampai membahayakan diri kalian ya, ibu gak mau kalian seperti konten-konten yang ada di Youtub. Demi popularitas mereka sampai melakukan hal-hal diluar batas kemampuan mereka,"nasihat bu Sinta.

“Baik bu," jawab mereka yang satu kelompok dengan Toni.

Keesokan harinya. Toni dan teman-teman lainnya mendiskusikan tugas kelompok mereka saat jam pulang dirumah Maya. Satu kelompok terdiri dari 7 orang. 4 laki-laki dan 3 perempuan. Toni, Andri, Rudi, Kefin, Maya, Rebeca, dan Sela. Mereka menyebut kelompoknya dengan sebutan Mempelam, karena semuanya sangat menyukai Mangga.

“Ton, gimana nih tugas drama kita? Kemarin kan kita mau buat drama horor nih. Dimana kira-kira tempat yang cocok untuk cerita kita?” Rudi mengawali diskusi.

“Gimana kalau kita ke Desa Kumbarin aja, disana pasti dapet banget tuh horornya. Apalagi disana udara terasa dingin kan?” sambung Maya sembari menyodorkan beberapa Pelam untuk teman-temannya.

“Aku setuju, pasti dapet banget tuh horornya. Wah…bulu kuduk ku merinding mendengar nama desa itu," ucap Rebeca.

“Kalian yakin mau kesana? Desa itu udah gak ada siapa-siapa lagi loh? Udah fix gak ada orang sejak diumumkannya bahwa sekeluarga mati kena santet. Aih…aku gak mau ah, ingat kata bu Sinta jangan ambil resiko. Lagian jarak kesana itu perlu waktu 5 jam loh. Kalian jangan dengarin apa kata Maya. Dia emang udah biasa lihat teman-teman sejenisnya yang aneh-aneh itu,"jelas Andri.

“Jadi maksudmu aku ini keturunan setan gitu? Jaga omongan mu ya. Walau sebenarnya salah satu keluarga ku emang ada keturunan dukun sih,"tegas Maya.

“Marah sih marah, tapi ya gak sambil nyantap Mangga juga dong, habis dah tuh kamu yang makan semuanya, sedari tadi aku perhatian ya,"ketus Kefin.

“Perhatikan Kefin,” ucap mereka bersamaan.

“Nah, itu maksudnya.”

“Gak heran klo denger Kefin ngomong. Pasti ada yang salah. Udah-udah, jadi gimana nih, jadi pergi gak sih kita?” sambung Rudi penasaran.

“Jadi dong,” jawab yang lain serentak kecuali Sela.

“Sel, kamu harus ikut. Klo gak nama kamu gak ada di kelompok kami ya. Kenapa diam? Takut? Ah, gtu aja takut. Kita kan punya Maya, si mata tembus pandang," canda Rebeca.

Saat itu Maya langsung menakuti mereka dengan nada yang sangat lembut serta gerak-gerik tubuhnya yang mendukung. “Husss…jangan kencang-kencang ngomongnya, ntar klo yang lain dengar gimana, hati-hati loh di sekitar kita bukan cuman ada kita aja tapi banyak makhluk lain, di dekat Rudi ada sosok hitam pekat tinggi dan tegap, nah tuh yang dipojokan sana pas banget dekat pohon Pelam tuh yang ada kamar mandi ada sosok nenek tua yang pakaiannya seribu tahun gak ganti-ganti serta baunya yang luar biasa karena dia sudah jadi penghuni kamar mandi, ditambah lagi dengan….” Maya menghentikan ucapannya karena teman-temannya terlihat sangat fokus mendengarkan.

“Dengan apa May?” sambung Sela.

Karena penasaran, Maya sengaja mendekati Sela perlahan-lahan sembari memutus-mutuskan ucapannya, menghentakkan tangannya diatas kedua bahunya hingga membuat yang lainnya benar-benar terkejut dan Sela sendiri pipis di celana. “Dengan…..kuku-kukunya yang sangat panjang sampai menyentuh tanah dan tajam.”

Mereka tertawa geli melihat Sela yang lintang pukang lari menuju kamar mandi untuk menggantikan celananya yang basah.

“Maya jahat, suka banget candain aku.”

“Kamu kan udah tahu aku orangnya gimana, buktinya kamu udah persiapan kan bawa celana ganti.”

“Wah….iya juga ya," Toni mengangguk-angguk.

“Oke, kalau begitu kita besok pagi sekitar pukul 06.00 WIB kumpul di depan gerbang sekolah, setelah itu kita langsung berangkat. Dan besok pagi kita udah nyampai di kosan masing-masing kecuali Maya yang tinggal dengan neneknya. Jangan lupa minta izin juga dengan orangtua masing-masing karena restu mereka sangat penting, sebab kita mau ke desa Kumbarin yang telah lama terbengkalai tepatnya 10 tahun yang lalu,"jelas Andri.

“Klo begitu pas banget ya, besok kan Sabtu kita gak kesolah, makanya bisa ngendap ya, Andri memang pintar pilih waktu," Kefin masih salah mengucap kata.

“Nginap Kefin," ucap mereka bersamaan.

“Oke, seperti biasa kita buat konten, persiapkan segalanya. Aku gak harus ngingatin kalian lagi kan?” tegas Toni sebagai ketua kelompok.

“Siap bos!” kembali serentak.

Keesokan harinya, sampailah mereka di tempat yang dituju. Wajah mereka tegang karena suasana yang sangat mencekam, hening. Banyak rumah-rumah kosong yang sengaja ditinggalkan penghuninya karena konon katanya arwah dukun santet beserta keluarganya masih gentayangan di desa itu.

“Yakin nih kita mau buat tugas sekaligus ngonten disini?” Sela terbata-bata saking takutnya. Dia memeluk erat Rebeca.

“Is, Sela. Udah ah, risih tau di peluk-peluk gini, mending di peluk pacar sendiri.”

Sela tak menggubris kata-kata Rebeca, dia tetap saja memeluk nya bahkan lebih erat dari biasanya.

“Husss…jangan sembarangan ngomong. Ada yang sedang memperhatikan kita, kelihatannya dia mata-mata si dukun santet itu, sebelumnya ia hanya rakyat biasa. Namun karena si dukun mencukupi kebutuhan keluarganya, ia pun rela mati dan meracuni seluruh keluarganya demi rasa setianya dengan dukun itu. Kelihatannya ia baik, dia menyuruh kita pergi dan jangan masuk. Sementara bersamanya ada seorang anak seperti minta tolong, aku gak tahu anak itu siapa dan sepertinya bukan keluarga dukun atau pembantunya yang setia itu. Terlihat banyak sekali rantai di tubuhnya, kulitnya melepuh. Sebagian wajahnya rusak. Bahkan daging yang jadi pembalut tulangnya beberapa bagian lengket di rantai itu, ia hanya berpatokan pada satu tangan dan satu kaki. Di sisi lain tangan kanan, sedangkan sisi lainnya kaki kiri. Apa yang membuatnya seperti itu ya, aku jadi penasaran," jelas Maya.

“Serem amat May, trus sosok yang kamu maksud kelihatan baik itu laki-laki apa perempuan May?” lanjut Rudi.

“Laki-laki, tapi eh tunggu…ada yang lari setelah melihat kita. Aku akan mengejarnya.”

“Maya, tunggu. Tunggu dulu, kamu mau kemana? Jangan tinggalkan kita disini. Kita harus tetap sama-sama sampai pulang," teriak Rebeca.

“Ya Allah, aku lupa. Maafkan aku ya kawan-kawan. Makhluk itu pasti sengaja mencuri perhatianku agar aku meninggalkan kalian. Ia sosok seorang ibu, dengan pakaian yang berlumuran darah dan mulutnya dipenuhi dengan belatung," Maya menjelaskan kembali.

“Ya sudah, kalau begitu dari sini saja kita mulai ngontennya kawan-kawan," Seru Toni.

“Sepertinya video kita kali ini kita tunda dulu, aku lebih tertarik berkelilng di daaerah ini daripada tugas drama kita, gimana kita buat video masing-masing aja dulu dengan hp kita, setelah itu kita pilih mana yang bagus untuk kita jadikan konten video horor, bukannya sudah banyak juga yang buat konten disini," Rudi menimpali.

“Ya, pada akhirnya tidak semua kembali dengan selamat," sela Sela.

“Huss, jangan berkata seperti itu, aku yakin kok kita pasti pulang dengan selamat," ucap Maya menenangkan teman-temannya.

“Ya, aku setuju dengan Maya. Mumpung masih siang kita istirahat aja dulu di salah satu rumah warga disini, yang lain gimana? Kalian setuju kan? Sela, Kefin, Andri, Rudi, Rebeca, Ton…ha, Toni mana? Dimana dia?” tanya Rebeca cemas.

“Tadi dia ada sama aku kok, apa mungkin dia kerumah hijau itu?” Rudi mulai mencemaskan Toni.

“Rumah hijau yang mana? Ada beberapa rumah hijau disni, kecuali….”Maya memutuskan omongannya.

“Ayo, ikut aku. Kita jemput Toni disana," lanjut Maya lagi.

“Huh, Toni ada-ada aja deh ah, aku kan takut. Jangan jauh-jauh dari aku ya Rebeca," Sela ketakutan.

“Ya, sayangkuuuu. Kamu bawa stok celana banyak kan?” canda Rebeca

Sela menepuk tubuh Rebeca beberapa kali karena candaannya.

“Teman-teman, aku minta kita fokus ke depan ya. Ikuti saja aku dan jangan terlalu memperhatikan sekitar kalian meskipun ada sesuatu yang membuat kalian tertarik, karena ini bukanlah nyata. Ini diluar dugaanku, sulit dipercaya. Karena kita telah masuk ke desa ini, kita gak bisa keluar begitu saja sama seperti awal kita masuk tadi. Aku yakin saat ini pasti Toni sedang diperlihatkan hal-hal yang indah bahkan sangat indah, hal itu nantinya akan membuat dia jadi penghuni desa ini selamanya, sama seperti teman-teman yang lain, kecuali kita menemukan kunci pembuka pintu desa ini," jelas Maya.

“Aih….mamposlah kita. Aku gak mau mati disini, aku mau pulang. Ayo kita pulang. Pulang,” Sela menangis ketakutan.

“Diam Sela, diam. Aku juga nyesal udah ada disini,” lanjut Rebeca.

“Udah, udah. Yang penting kita tetap fokus. Maya mengingatkan kembali.

Akhirnya sampailah mereka di pintu masuk rumah itu, pintu dan sekitar rumah sudah seperti hutan belantara. Keadaan dalam rumah pun sulit dibayangkan. Rumah ini adalah rumah si dukun santet itu, rumah yang paling mewah dan indah di antara rumah-rumah yang lainnya. Rumah yang sangat luas dan megah. Namun sayangnya, mereka semua mati terbakar dalam rumah ini termasuk para pembantu. Penduduk yang sangat marah waktu itu menjadi kalaf dan membakar semuanya, mereka pun melupakan ada anak kecil dan pembantu yang hamil dalam rumah itu.

Rumah yang di dominasi warna hijau ini seperti keturunan nyai roro kidul. Memang terasa sangat mistis ketika memasuki rumah ini, dan jika kita tidak fokus yang terlihat bukannya bekas rumah yang terbakar tetapi rumah mewah yang sangat indah. Kita akan dibawa oleh 10 tahun yang lalu, dimana masa-masa itu adalah masa kehidupan menuju kematian mereka semua. Sebentar-bentar Maya menyaksikan kejadian 10 tahun yang lalu, dan sebentar pula kembali ke awal, tetapi tidak dengan Toni. Toni sudah masuk dalam perangkap mereka. Dia melihat keindahan dan kemewahan dalam rumah ini serta disambut dengan makanan yang enak-enak serta para penduduk yang melayaninya.

“Ingat teman-teman fokus, fokus. Kalian harus selalu ingat bahwa kita berada dalam rumah yang terbakar,” Maya mengingatkan teman-temannya.

“Aku lapar May,” seru Andri.

“Ya, sama. Aku juga lupar. Kita sudah terlalu jauh berjalan, hari pun sudah senja menjelang malam ni, gimana ini May? Sambung Rudi.

“Oke, kita disini saja, di sudut tiang ini. Ini tepat di bawah tangga, kita bisa menyaksikan kejadian apa pun disini nanti. Tapi ku harap kalian jangan mengeluarkan suara sedikit pun. Aku yakin kita pasti bisa keluar dari sini.”

Maya dan teman-teman lainnya menikmati bekal yang sudah mereka persiapkan, karena penasaran Rudi mengaktifkan rekamannya untuk dijadikan momen yang tak terlupakan. Maya mengingatkan Rudi kembali jangan sampai mereka ( makhluk astral ) itu merasakan keberadaan mereka.

Tiba-tiba saja Sela melihat Toni dan dia hampir membuka mulutnya. Untungnya Rebeca dengan segera menutup mulut Sela. Mereka sangat terkejut melihat Toni berjalan bersama seorang perempuan dengan gaun merah dan dengan tubuh yang hangus, wajahnya juga rusak. Perempuan itu menganggap Toni adalah kekasihnya. Anehnya Toni malah menggandeng perempuan itu dan terlihat begitu nyaman berada disampingnya. Mereka juga melihat Toni makan makanan ulat dan dedaunan busuk yang lainnya, tetap saja Toni sama sekali tidak merasakan makanan yang aneh. Dan kini mereka menuju tangga rumah itu, entah apa yang akan terjadi dengan Toni diatas sana. Maya bingung apa yang harus ia perbuat agar Toni sadar dan melihat semuanya dengan nyata. Toni bersikap seperti itu karena dia dibawa oleh masa 10 tahun yang lalu.

Menurut pandangan Maya, perempuan itu adalah anak dari dukun itu sendiri yang ia bakar hidup-hidup. Ia tak menyetujui jika anaknya menikah dengan pemuda desa yang biasa-biasa saja. Kabarnya lagi pemuda itu akhirnya bunuh diri dengan menyayat urat nadinya di depan kekasihnya yang terbakar. Penduduk desa marah dan akhirnya membakar rumah dukun itu. Sebab bukan itu saja, dukun santet itu juga telah menyantet keluarga pemuda itu. Adik perempuannya dibuat gila dan lari dalam hutan, hingga akhirnya ditemukan sebahagian tubuhnya karena sebahagian lagi sudah dimakan oleh binatang buas.

Sementara ibunya, dibuat takut melihat orang-orang yang ada di sekitarnya dan akhirnya ia memotong-motong tubuhnya sendiri serta mulutnya mengeluarkan ribuan belatung. Perempuan itulah yang mereka lihat saat akan memasuki desa Kumbarin ini, begitu juga dengan ayah pemuda itu, ayahnya merasa aneh dengan jari-jarinya sendiri, ia memotong lalu menjahitnya sendiri, begitulah seterusnya.

Sela, Rebeca, Andri, Rudi, dan Kefin ngerih mendengar cerita Maya. Hari semakin gelap dan tidak ada sedikit cahaya pun. Ponsel mereka habis baterai, untung saja Sela membawa power bank dengan begitu mereka sedikit merasa aman berada di tengah kegelapan. Mereka dikejutkan dengan sikap Kefin yang tiba-tiba beranjak dari tempat duduknya dan seolah-olah ia tidak merasa ketakutan sama sekali, ia malah mencoba untuk berjalan menuju suatu tempat.

“Kefin, kamu mau kemana malam-malam gini? Kamu gak lupa kan kalau kita ini ada di desa Kumbarin?” tanya Maya.

“Gak kok, mana mungkin aku lupa. Aku mau buang jahat, udah kelebet ni,” ucapnya santai.

“Buang hajat Kefin, udah kebelet. Emang disini ada toilet? Kalau pun ada emang ada airnya?” tanya Rebeca.

“Aku gak tau itu toilet atau bukan, tapi yang kulihat tadi ada ember besar dan ada airnya juga kok, aku yakin itu air hujan.” jelas Kefin.

Ketika Kefin beranjak pergi, Maya dikejutkan dengan sosok anak yang terbelunggu dengan rantai tadi, anak itu seperti minta tolong agar rantainya di lepaskan dan dia membawa obor.

“Tunggu Kefin, jangan pergi dulu. Aku melihat anak yang terbelenggu rantai tadi, dia minta tolong agar rantainya di lepaskan dan dia juga membawa obor. Mungkin ini petunjuk. Kalian disini dulu sementara aku membantu anak itu. Namun bila aku belum juga kembali kalian bisa mengikuti rombongan para penduduk yang akan membakar rumah ini nantinya. Tepat jam 12 malam, desa ini akan kembali semula karena hari ini adalah hari dimana rumah ini dibakar tepat 10 tahun lalu, jika kalian mengikuti rombongan penduduk yang membawa obor kalian bisa keluar dari desa ini dimana awal mula kita masuk tadi, dan ingat jangan terperdaya dengan perubahan yang terjadi 10 tahun lalu, sebab rumah ini adalah rumah si dukun santet itu. Kita pasti selamat,” ucap Maya meyakinkan teman-temannya.

“Trus bagaimana dengan Toni? Gak mungkin kita tinggalkan dia,” tanya Rudi.

“Ketika aku melepas rantai anak itu dan semuanya berubah, maka Toni pun akan sadar begitu juga dengan perempuan yang bersamanya, karena Toni bukanlah kekasihnya. Toni akan bergabung bersama kita, yakinlah teman-teman, yakin,” jelas Maya.

“Oke May, hati-hati. Kita pasti bersama seperti sedia kala,” lanjut Rebeca.

Maya memeluk teman-temannya, berlalu pergi meninggalkan mereka dan mengikuti anak tersebut, sementara teman-temannya dengan wajah yang ketakutan serta perasaan yang menegangkan menantikan Toni turun dari lantai atas rumah hijau itu dan menunggu para penduduk dengan obor mereka.

“Duh, gimana dong? Aku dah gak tahan ni, kelebet banget. Aku buang dulu ya nanti aku kembali lagi.” Kefin pun langsung berlari sembari memegang celananya.

“Kefin…” teriak Sela.

“Bagaimana jika Kefin tidak kembali lagi kesini? Aku takut teman-teman,” ucap Andri tegang

“Seperti yang dikatakan Maya tadi, kita harus yakin. Kita juga gak mau kan mereka bernasib sama seperti yang lain, tertinggal disini. Duh….amit amit.” Rebeca bergidik meninggikan bahunya.

“Lantas bagaimana dengan keadaan Maya saat ini? Apa yang terjadi dengannya? Apa dia baik-baik saja Rebeca?” tanya Sela ketakutan

Rebeca hanya terdiam. Sela mengulang kembali pertanyaannya namun Rebeca masih terdiam.

“Jawab Rebeca, jawab,” Sela menarik-narik baju Rebeca dan memukul-mulul wajahnya. Namun Rebeca masih saja terdiam, entah apa yang terjadi dengannya.

Sementara Maya masih berjuang menyelamatkan anak yang terbelenggu rantai tadi, anak itu menggiring Maya ke suatu tempat, ternyata dia adalah anak dukun santet, ayahnya sengaja merantai nya karena kerap kali melawan. Ia tidak setuju dengan perbuatan ayahnya dan akhirnya si dukun santet itu mengurungnya dalam ruangan yang gelap, sepi dan jauh dari rumah hijau itu.

Maya berhasil masuk dalam ruangan gelap itu, dengan penerangan obor dilihatnya tulang belulang yang melilit rantai tersebut. Rantai yang sangat tebal dan kuat, pantas saja anak itu berjalan dengan meyeret-nyeret kakinya. Sialnya lagi, rantai itu harus dibuka dengan kunci, entah kemana Maya mencari kunci itu. dengan sikap tenang dan banyak berdoa dia pun menemukannya. Kunci itu berada diantara bingkai foto yang usang, Maya pun mengambilnya. Karena penasaran dengan foto itu, Maya mencoba memebersihkan fotonya dan dia sangat terkejut ternyata foto itu adalah foto kakek buyutnya. Ternyata kakek buyutnya adalah dukun santet itu. Maya heran dan bertanya-tanya dalam hati, mengapa tak seorang pun memberitahukannya perihal ini termasuk neneknya. Dan nenek yang tinggal bersamanya itu adalah anak dari seorang dukun santet yang sebelumnya meninggalkan rumah hijau itu dan memutuskan untuk pergi meninggalkan keluarganya.

Maya menangis dan sangat bersedih, sembari menangis, ia membuka kunci rantai itu dan tak berapa lama terdengarlah suara penduduk beramai-ramai akan membakar rumah hijau itu, Maya pun berlari dengan sangat kencang menemui teman-temannya. Setelah sampai, mereka pun cepat-cepat menuju kerumunan penduduk. Tiba-tiba terdengar dari lantai atas rumah itu teriakan Toni. Mereka pun memanggil Toni untuk kembali bergabung bersama mereka.

Napas Toni terengah-engah, berulang kali ia memukul-mukul mulutnya sendiri karena baru saja tersadar ternyata yang ia makan adalah belatung dan dedaunan busuk. Dari belakang Kefin pun mengikuti mereka. Dan akhirnya mereka berhasil berkumpul diantara kerumunan para penduduk, mereka juga menyaksikan bagaimana rumah itu dibakar bersama dukun santet itu.

Mereka pun keluar dari kerumunan dan tepat bearada di batas awal masuk desa saat pertama sekali mereka masuki. Mereka sangat bersyukur karena akhirnya mereka semua kembali dengan selamat. Maya yang menyaksikan kejadian itu menangis dan memeluk erat-erat foto yang dibawa bersamanya. Matahari pun mulai terlihat dan berubah menjadi pagi. Desa itu terlihat kembali seperti semula, desa yang sepi dan sangat mencekam.

Maya melihat senyuman seorang anak yang ia bebaskan dari rantai tersebut, ia pun melambaikan tangan sebagai ucapan terima kasih pada Maya yang telah menyelamatkannya. Sela dan teman-temannya menanyakan foto yang dipeluk Maya, dan Maya pun tidak menjawabnya sama sekali.






Bersambung












Maya Fasindah
Blog seorang guru dan alhamdulillah seorang penulis yang masih terus belajar dan belajar.

Related Posts

Posting Komentar