..

Iklan

Novel- Bintang di Ujung Kelas

Posting Komentar

Bab 1

Hari Pertama di Sekolah

Pagi itu, langit tampak kusam seperti ikut mengerti kegelisahan Bima. Ia berdiri di depan gerbang sekolah dengan cat tembok biru putih yang sudah mengelupas dan papan nama sekolah yang sedikit memudar membuat sekolah ini tampak seadanya. Namun tulisan itu masih dapat terbaca jelas:

"SMP SWASTA DHARMA", sebuah sekolah yang menjadi tempat bagi siswa yang tak lulus sekolah negeri berkumpul dan menjadi rumah bagi semangat yang enggan menyerah.

Bima menelan ludah. Ini bukan sekolah yang ia impikan dan banggakan dulu. Namun hanya disekolah inilah yang mampu ibunya perjuangkan ditengah hiruk pikuk masalah dikehidupan keluarganya.

Terbayang di sebuah ingatannya, ibu pernah berkata,

“Sekolah itu bukan soal megahnya sebuah gedung, Bim tapi tentang sejauh apa kau mau belajar serta berjuang untuk masa depanmu."

Kalimat kecil yang menguatkan sebuah keyakinan serta semangat dihati pagi itu.

“Bim! Kok bengong? Takut ya?”

Jo muncul sambil menepuk pundaknya. Jo—teman masa kecil yang tubuhnya kecil tapi suaranya besar. Kulitnya hitam legam, rambutnya jigrak acak-acakan seperti tidak pernah menyentuh sisir, “Maaf telat"! imbuhnya.

Bima tersenyum tipis.

"Beruntung, Jo diterima disekolah yang sama", bisik Bima dalam hati.

Teman masa kecil itu adalah sosok yang membuat hari-hari Bima tak pernah terasa sepi.

Mereka pun masuk bersama melewati gerbang sekolah itu. Halaman sekolah penuh dengan murid baru. Ada yang mengobrol terlalu keras seolah ingin menunjukkan keberanian, ada yang terlihat takut, dan ada pula yang duduk di sudut seperti ingin tak terlihat. Suara toa tua di pojok dinding halaman menggerung seperti singa yang enggan bangun dari tidur panjangnya.

“Semua siswa baru berkumpul di lapangan! Baris sesuai kelas! Cepat!”

Gemuruh langkah-langkah gugup memenuhi lapangan. Sepatu-sepatu murid baru saling bersenggolan, tawa dan keluhan bercampur menjadi harmoni.

"Woy, jangan dorong-dorong!”,riuh siswa menghiasi pagi kala itu.

“Baaariiisss… yang benar!”

“Kalian ini mau jadi apa kalau baris aja nggak bisa rapi!”

Tatapannya tajam seperti kompas yang selalu mengarah pada kedisiplinan.

Seorang kakak kelas melangkah ke depan barisan. Badannya tegap, wajahnya tegas, suara seraknya seolah selalu bernada marah.

Kak Anto..!

Nama itu dibisikkan banyak orang dengan campuran takut dan kagum. Seorang siswa kelas VIII yang juga menjabat Pratama Pramuka. Disiplin hingga ke tulang.Dalam Pramuka, Pratama adalah gelar atau jabatan bagi pemimpin regu (PR) putra pada jenjang Penggalang (SMP).

OSPEK resmi dimulai. Teriakan, baris-berbaris, peraturan yang terdengar mengekang. Bima mencoba mengikuti, meski tubuhnya mulai pegal dan panas. Namun, di tengah kekacauan itu, ia melihat seorang gadis yang berdiri di ujung barisan paling kanan. Rambutnya hitam terikat rapi, ujungnya menari ditiup angin pagi. Poni tipisnya jatuh manis di dahi, wajahnya tenang bagai danau yang tak terusik badai. Tatapannya lurus dan tenang, seolah saat itu tidak cukup untuk menggoyahkan dirinya. Sesekali angin mengibaskan anak rambutnya, dan mata Bima tak bisa lepas menatap.

Dwi Ayu. Nama itu terasa seperti bait pertama dari sebuah puisi cinta yang belum selesai ditulis. Entah siapa yang pertama kali menyebut nama itu, tapi langsung terpatri di ingatan Bima.

“Eh, Bim. Jangan bilang kau suka sama dia,” bisik Jo sambil nyengir nakal sambil menggoda.

“Ah–apaan sih? Aku cuma… lihat aja…”

Bima buru-buru mengalihkan pandangan, tapi jantungnya berdetak terlalu cepat untuk kebohongan itu. Saat istirahat, dua anak menghampiri mereka.

“Aku Eri,” kata seorang anak berkumis tipis, menenteng bola plastik lusuh. “Kalian suka main bola? Di sini lapangan becek, tapi asik kok.”

Yang satu lagi berdiri dengan tas sekolah yang tampak masih baru. “Nama aku Zaki. Dari desa di luar kota. Katanya sekolah ini… keras ya?”

Jo mengangkat alis. “Katanya sih begitu. Tapi ya kita lihat aja nanti.”

Saat mereka mulai mengobrol, seorang anak kurus dengan seragam kebesaran berjalan tertatih membawa botol mineral besar. Matanya menunduk, seperti takut berbicara.

“Aku… Hulu,” ucapnya dengan logat kental kampung. “Aku bantu… ambil air… untuk barisan kita.” Bima tersenyum kemudian membantunya membawa botol. Saat itu Hulu menatapnya terkejut… lalu tersenyum kaku. Mereka belum saling mengenal, tapi ada sesuatu perasaan yang hangat saat itu.

Hari itu terasa hari bergulir begitu lama usai. Rasa tegang, rasa takut, sedikit tawa… dan detak jantung yang berbeda dari biasanya.

Di akhir kegiatan, Kak Anto kembali berdiri di tengah lapangan.

“Kalian semua di sini karena sekolah lain tidak mau menerima kalian,” katanya lantang. “Tapi di tempat ini, kalian akan belajar disiplin. Kalian akan belajar… menjadi seseorang yang tangguh!”

Kata-kata itu menghantam keras di dada Bima. Ia menatap sekolah sederhana di depannya. Tempat yang diremehkan banyak orang. Tempat yang katanya tidak punya bintang. Tapi ketika matanya tak sengaja kembali singgah ke ujung barisan…

Dwi Ayu sedang menatap langit yang perlahan memerah seakan ia sedang berbisik dengan senja. Dan untuk pertama kalinya saat itu, Bima merasa… mungkin ia bisa bersinar di sini. Meskipun hanya sebagai bintang di ujung kelas.

Tiba-tiba seorang anak laki-laki bertubuh tinggi datang dan berdiri di depan Bima memecahkan keheningan itu. Ia berdiri tepat di depan Bima, seolah menjadi tembok yang tak mungkin dilalui. Wajahnya sedingin pagi yang belum tersentuh matahari, sementara sorot matanya—ah...! sorot mata itu menyimpan ancaman yang tak membutuhkan suara.. seperti ingin menegaskan: “Jangan macam-macam dengan dia.”

Bima tak tahu siapa anak itu. Tapi tatapan tajamnya terasa seperti peringatan.


-BERSAMBUNG- BAB 2 




Profil Penulis

Yoyon Pratama, S.Pd. yang kerap disapa Kak Yoyon adalah seorang pegiat literasi yang percaya bahwa setiap kata dapat menumbuhkan pengetahuan baru pada pembacanya. Putra kelahiran Medan, 4 Desember 1987 ini dibesarkan di tengah masyarakat yang akrab dengan tradisi bercerita nyaring, Yoyon tumbuh dengan kecintaan mendalam pada dunia anak dan pendidikan . 

Memiliki hobi membaca dan selalu haus akan hal-hal baru, Kak Yoyon menjadikan setiap buku dan pengalaman sebagai sumber inspirasi tak berujung. Baginya, belajar adalah perjalanan seumur hidup yang tak pernah usai. 

Bagi Kak Yoyon, literasi adalah lentera yang menerangi jalan menuju masa depan yang lebih cerah, dan menulis adalah cara paling tulus untuk menghubungkan jiwa-jiwa yang haus akan perubahan dan harapan.
Maya Fasindah
Blog seorang guru dan alhamdulillah seorang penulis yang masih terus belajar dan belajar.

Related Posts

Posting Komentar