Hari itu, saat matahari baru saja menembus jendela kelas dengan sinar hangatnya, Bima melangkah masuk membawa tas yang mulai terasa berat oleh beban hari pertama yang melelahkan. Namun, ada sesuatu yang berbeda di suasana pagi itu.
Bel sekolah berbunyi tanda pelajaran akan dimulai, masuklah seorang wanita paruh baya dengan senyum lembut dengan tatapan penuh semangat. Rambutnya ikal mayang yang mulai memutih disanggul rapi, mengenakan baju seragam sederhana yang sedikit pudar warnanya. Di tangannya tergenggam buku sejarah yang sudah lusuh.
“Assalamu'alaikum.. Selamat pagi anak-anak bunda,” suaranya lembut namun penuh kewibawaan. Perkenalkan saya Ibu Nila, guru sejarah kalian sekaligus pembina Pramuka di sekolah ini.
Setelah menyapa dan memperkenalkan diri dengan hangat, Ibu Nila membuka lembar demi lembar buku yang sudah usang, lalu mulai berbicara dengan penuh gairah.
"Sejarah bukan sekadar masa lalu yang dingin, di balik setiap tanggal dan peristiwa, tersimpan cerita-cerita jiwa yang berani menari dalam setiap lorong waktu untuk menenun benang-benang harapan untuk masa depan”, ungkapan Ibu Nila memulai dengan bait sederhana sambil tersenyum penuh arti.
Kelas yang awalnya gemuruh, kini satu per satu wajah murid-murid mulai terpukau. Bima, yang biasanya sulit fokus pada pelajaran sejarah, kini terhanyut dalam alunan kata-kata yang merangkulnya. Tiap bait terasa hidup, seperti cerita yang berbisik lembut di telinga, membawa ia menyusuri masa lalu yang penuh warna dan perjuangan.
Suasana kelas berubah menjadi sakral, murid-murid duduk dengan penuh perhatian, beberapa menatap Ibu Nila dengan kagum. Bahkan Jo yang biasanya cerewet kini terdiam, terpesona oleh cara Ibu Nila menyampaikan cerita.
Ada aura kehangatan sekaligus keteguhan dalam diri Ibu Nila. Walau penampilannya sederhana, ada semangat yang menggebu di matanya, seolah ia membawa sebuah misi besar: membangkitkan jiwa tangguh di setiap anak yang ia temui. Satu persatu beliau sapa dengan hangat dan penuh kebahagiaan.
“Sekolah kita mungkin tidak sehebat yang lain, dan hidupku pun sederhana, bahkan sering kali kekurangan. Tapi jangan pernah biarkan keadaan menentukan siapa kita,” lanjut Ibu Nila dengan nada penuh keyakinan.
Sontak Bima teringat ibunya yang berjuang keras untuknya, dan kini, ada Ibu Nila yang seolah merefleksikan kembali bahwa semangat dan tekad lebih penting dari segala kemewahan.
Sembari mendengarkan, ia merasakan getaran harapan dan kekuatan yang tak dapat terucapkan. Mata Ibu Nila berkaca-kaca saat mulai menceritakan kisah hidupnya yang jauh dari kata sederhana, sebuah perjalanan kehidupan yang ia dulu pernah lalui sewaktu bersekolah.
Tidak terasa bel pelajaran usai sekaligus pertanda waktu istirahat, Ibu Nila menghampiri Bima dan Jo yang sedang duduk di bangku paling belakang. “Bima, aku dengar kau punya semangat yang tak mudah padam. Aku yakin kau bisa menjadi bintang, bukan hanya di ujung kelas, tapi di mana pun kau berada”, ungkap Ibu Nila kemudian beranjak pergi meninggalkan kelas.
Bima tersipu malu namun hatinya menghangat. Sejak saat itu sosok Ibu Nila menjadi idola barunya—seorang guru yang bukan hanya mengajar tapi juga membimbing dengan hati.
Di balik kesederhanaan yang terbungkus rapi,
Ada jiwa yang tak pernah mati,
Ibu Nila, bintang kecil yang setia,
Menuntun langkah kami menuju cahaya.
Setelah Ibu Nila meninggalkan bangku, Bima dan Jo masih duduk terpaku, merasa ada sesuatu yang berbeda dalam diri mereka. Bima masih merasakan hangat dari sentuhan kata-kata sang guru yang menyalakan bara kecil dalam hatinya.
Dwi Ayu, yang duduk tak jauh dari mereka, menatap Bima dan menyelipkan senyum kecil seakan memberi arti tanpa kata seketika bikin hati Bima berdegup aneh dengan wajah yang memerah menahan malu. Jo yang melihat itu langsung tertawa terbahak-bahak, “Wah, Bima! Kelas sejarah malah jadi kelas cinta sekarang, nih! Hati-hati jangan sampai lupa makan, ya!” celetuk Jo sambil menarik Bima keluar kelas untuk istirahat.
Waktu pun berlalu menjelang bel pulang berbunyi, saat kelas mulai ramai dihiasi suasana sibuk dengan persiapan pulang. Bima menemukan lipatan kertas berwarna merah muda dengan aroma yang harum saat sedang membereskan buku - bukunya kedalam tas. Dengan jantung berdebar, Bima membuka lipatan surat itu perlahan. Terlihat tulisan tangan yang rapi dan lembut, dengan beberapa bait puisi yang membuat hatinya bergetar:
Di setiap waktu dan jejak langkah yang kita tapaki,
Ada cerita yang tersimpan di bilik hati.
Berteman senja pelan menutup hari,
Jejak samar menggenggam rindu penuh arti.
Kala jingga menorehkan lukisan,
Kita diam, menyulam harapan.
Dalam hening, terasa hangat persahabatan,
Irama Bayu menyusuri lorong kenangan.
Di bawah puisi itu, hanya tertulis jejak kecil bertuliskan: LIBRA.
Bima menatap kembali bait demi bait puisi itu, seakan merasakan tiap kata mengalir menembus ruang dan waktu, menorehkan getar dihati yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Di setiap waktu dan jejak langkah yang kita tapaki,
Ada cerita yang tersimpan di bilik hati.
Bima menutup mata sejenak, membayangkan setiap langkah yang telah mereka lalui bersama—tawa, diam, canda, dan bisu yang saling mengisi.
Berteman senja pelan menutup hari,
Jejak samar menggenggam rindu penuh arti.
Rindu? Kata itu menusuk hatinya. Apakah ini lebih dari sekadar persahabatan?
Ia membuka mata, menatap sekeliling kelas yang mulai kosong. Suara riuh murid-murid yang berlalu pergi seolah lenyap. Hanya ada keheningan dan detak jantungnya sendiri.
Kala jingga menorehkan lukisan,
Kita diam, menyulam harapan.
Dalam hening, terasa hangat persahabatan,
Irama Bayu menyusuri lorong kenangan.
Bima mengerti bahwa puisi ini bukan sekadar kata. Ini adalah pesan terselubung dari seseorang yang telah lama menyimpan rasa.
Matanya menangkap tanda tangan di pojok bawah: Libra.
Detik itu juga, Bima merasa waktu berhenti sejenak.
Siapakah ‘Libra’ sebenarnya? Apakah hanya sahabat biasa atau ada sesuatu yang lebih?
Bima berdiri dari bangku, menatap ke luar jendela dengan tatapan yang penuh tekad dan rasa penasaran.
Siapakah Libra?
-𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓫𝓾𝓷𝓰-
Penulis: Yoyon Pratama

Posting Komentar
Posting Komentar