..

Nawaitu Syurga

Raut wajah mas Ridho sudah cukup mengatakan bahwa tiap hari ia harus bekerja keras, namun apa mau dikata kerja rutin yang ia lakukan masih belum cukup mencukupi kehidupan kami. rasa cintanya pada Ibu pun sudah ia buktikan dengan sungguh-sungguh. seteguk kopi hangat dengan setengah sendok teh gula masih dirasa belum cukup memulihkan tenaga nya kembali untuk esok.

yah, inilah kehidupan rumah tangga. Tempat dimana bukan hanya menyatukan cinta namun saling melengkapi dan mengisi meski pada titik rendah sekalipun. tidak ada yang tahu pasang surut runah tangga itu seperti apa, yang jelas gelombang rumah tangga pasti ada dan tergantung bagaimana cara kita menyikapinya.


“Mas, persediaan beras kita sudah habis, besok kita mau makan apa? Susu dan pempers Fahrul juga enggak ada. Sisa uang yang kemarin untuk membayar perawat yang menggantikan perban kaki Emak. Mas masih ada uang simpanan sisa jual ojol kemaren enggak?”

“Ya Allah Ipah, kan uangnya udah Mas kasih semua, udah kita bagi-bagi buat keperluan sehari-hari, tapi Mas lupa kalau kita harus bayar perawat karena sakit gulanya Emak. Mana musim hujan lagi, enggak bisa noreh juga kan?”

“Jadi nak macam mane nih?”

“Ya udah, besok mas pinjam dulu ke toke getah ya. Udah tidur sana istirahat, kamu kan udah capek seharian ngurus Emak, ngurus anak-anak kita ditambah kamu harus jual jamu keliling kampung untuk nambah-nambah uang dapur.”

Aku pun berlalu pergi meninggalkan Mas Ridho yang tengah asyik dengan hand phonenya itu, tak apalah pikirku. Toh itu juga menjadi hiburan dia sesekali karena ku tahu menoreh getah itu adalah pekerjaan yang sangat melelahkan.

Aku tak ahu sampai kapan hidupku akan seperti ini terus, tapi yang jelas niatku adalah berbakti pada suami dan juga ibu mertuaku yang sudah kuanggap seperti ibu kandungku sendiri.

Pukul 04.30 WIB, alunan musik dendang Melayu sengaja ku setel biar aku dan Mas Ridho bangun lebih awal. Selesai salat shubuh mas Ridho langsung ke tempat torehannya, sementara aku mempersiapkan jamu untuk di jual ke ibu-ibu sekitaran kampung, masing-masing dengan harga dua ribu rupiah. Jualan jamu juga belum cukup untuk mencukupi kebutuhan lainnya, terkadang ibu-ibu juga sering ngutang bahkan ada yang lupa bayar, ya mau gimana lagi itung-itung aku bersedakah pagi.

Pukul 07.00 WIB, aku sudah mulai berkeliling kampung. Tatapan retinaku tertuju pada rumah Sumi yang makin hari makin bagus begitu juga dengan penampilannya, padahal dulu dia buruh cuci di kampung ini. Yang ku tahu suaminya jadi TKI di Malaysia.

Lalang Tanjung, ya tepatnya di daerah Selatpanjang Riau. Sebahagian masyarakatnya adalah penoreh getah atau biasa disebut menderes. Tua, muda, laki-laki, perempuan hampir rata menderes. Sebahagian lagi jadi TKI di Malaysia dan Singapore. Tak heran jika pak RT dan pak RW ketika mengumumkan gotong royong lebih di dominasi oleh kaum wanita, karena rata-rata para suami bekerja di luar negeri.

“Ipeh, Sum 3 hari ini libur dulu ya jamunya. Mau pergi bawa anak jalan-jalan. Oh ya Peh, kemarin suamiku telp katanya temannya mau keluar dari kerjaannya, suami Ipeh mau enggak gantikan? Ntar Sum sampek in deh biar jangan dikasih orang dulu. Lumayan loh, biar enggak capek-capek lagi jual jamu trus mertua kan lebih keurus.”

Aku hanya menganggukkan kepala, sejenak aku terdiam mendengar tawaran dari Sumi. Ada benarnya juga yang dikatakannya, tapi apa aku sanggup hidup jauh dari suami? Lagi pula itu kan jalur illegal. Ah, sudahlah enggak usah di pikirkan. Tetapi kata-kata itu mengganggu pikiranku. Lebih baik ku rundingkan dengan Mas Ridho.

“Ye si Ipeh malah ngelamun, Peh macam mane?”

“Kejap ye, balik dulu.”

Aku memutar balik sepeda yang kukayuh menuju kebun torehannya Mas Ridho dan memintanya untuk pulang. Kesepakatan pun terjadi dengan berbagai pertimbangan dan akhirnya Mas Ridho jadi TKI di Malaysia meskipun aku tahu bahwa ini tidak benar, illegal. Untuk sementara tak apa-apa Mas Ridho jadi TKI, nti kalau uang sudah terkumpul, kami akan buka usaha di sini dan Mas Ridho enggak perlu jadi TKI lagi.

Satu bulan sudah aku tidur bersama anak-anak dan ibu mertua, mas Ridho belum juga pulang, padahal katanya akhir bulan ini sudah harus balik ke Indonesia karena pakai paspor pelancong, jika ketahuan kerja mas Ridho akan di pulangkan.

Ternyata benar, aku menerima telpon dari salah satu teman kerjanya, bahwa Mas Ridho kabur dan bersembunyi di balik hutan belantara Malaysia yang aku sendiri juga tidak tahu dimana persisnya itu. Kurahasiakan berita ini dari ibu mertuaku agar tidak membebani pikirannya. Entah apa yang terjadi dengan Mas Ridho dan kuharap segera dapat kabar baik. Inshaa Allah Nawaitu Syurga.



Maya Fasindah
Blog seorang guru dan alhamdulillah seorang penulis yang masih terus belajar dan belajar.

Related Posts

Posting Komentar