..

Binar



Hangatnya dekapanmu menenangkan badai di hatiku. Selesa badanku..

Oh, Sang Rahim

Temara senyum yang sangat ku rindukan, Ibuku..

Nelangsa.. Perih terpendam

Irama kalam suci yang setiap malam kau lantunkan

Deru syahdu menyejukkan

Alamku tak lagi temaram..

Aku rindu kau, Ibuku..

Gundahku menusuk kalbu..

Untaian kalimatmu yang selalu ku rindu..

Sesak hatiku.. Hanya genggamanmu yang dapat menguatkan tumpuanku..

Lelah ku memanggilmu.. Melaung ku menangis sedu..

Ingin aku bertemu denganmu, Ibu..
 “Dek, umak ridho kau bersama Mughny. Setelah lebaran ini kita tanya keluarganya, yaa..”

***

Hujan yang mengguyur bumiku tadi malam, membuat air parit di depan rumahku mengalir deras. Suaranya seperti sungai yang ada di kampungku. Subuh ini begitu dingin, membuat aku kembali ke kasur setelah beribadah kepada Al Muhaimin.

Surya pagi ini berbeda dengan kemarin. Bukan karena terbit dari barat, namun karena cahayanya yang hangat. Dia, Yang Maha Mengatur apa yang di langit dan di bumi. Mengatur segala rencana-rencana yang diminta hambanya.

Bukan karena suara ayam yang berkokok atau cahaya matahari yang masuk, memantul ke wajahku yang membuat aku terbangun. Deringan gawai yang sudah 10 kali berbunyi yang membuat aku bangkit dari tempat tidurku. Padahal mimpi kali ini begitu indah. Aku dan Mughny –pacarku- sedang piknik di padang bunga yang indah. Gadis yang pada pandangan pertama aku jatuh cinta padanya.

“Siapa sih, yang nelpon pagi-pagi gini! Padahal lagi mimpi enak!” ku lihat gawaiku. Ternyata ibu. Gawat! Pikirku. Aku gak bisa mengirim obatnya tadi malam, karena hujan deras. Setiap bulan aku memang rutin mengirim obat yang dibutuhkan ibu. Ibu sakit diabetes, sudah komplikasi. Dia tidak mengharapkan ini, namun hanya ini yang bisa aku beri. Aku pernah mengirim sebahagian gajiku kepadanya, besoknya dia mengirim sesuatu yang tidak aku inginkan. Dia mengirim baju baru dan makanan. Aku yakin uang untuk membeli itu semua pasti dari uang yang aku kirim. Maka dari itu, aku memberi apa yang dia butuhkan, bukan apa yang dia inginkan.

“Lama kali ngangkat hp nya?! Baru bangun ya?? Udah sholat subuh?? Udah berapa kali umak bilang, jangan dibiasakan begadang. Tiap malam asik menelepon aja! Padahal kan udah jumpa di kantor sama anak itu!

“Mughny, Mak.. Bukan anak itu..”

“Entah lah.. Gak peduli umak siapa namanya..”

“Hmmm.. Umak kenapa pagi-pagi nelpon?? Ini kan minggu, Mak.. Tadi malam hujan deras, cuacanya bikin nyenyak tidur, Mak. Adek udah sholat subuh, kok. Siap sholat, adek tidur lagi, Mak”.

“Oh.. Nanti malam umak berangkat ke Medan, ya.. Umak mau check up sekalian terapi. Kata uwakmu, di sana ada pijat terapi untuk diabetes. Mamak si Inur, tetangga kita itu, udah normal gula nya. Gak jadi di ring jantungnya. Umak takut di operasi, Dek..” Ibuku menangis.

Biasanya aku melarang dia untuk mengunjungiku. Bukan tanpa alasan, aku tak mau dia bepergian sendiri. Aku takut kalau terjadi sesuatu di tengah jalan. Kali ini, aku mengizinkannya. Bukan karena alasan ibu yang tak masuk akal itu.

“Umak bawa baju aja, ya.. Jangan bawa yang macam-macam lagi kek terakhir itu. Bawa rantang lah, bawa cabe lah, bawa baju untuk aku. Umak cuma bawa baju umak aja yaa..”

“Iya, Dek.. Umak naik taksi, jadi nanti umak langsung diantar ke kontrakan kamu..”

“Iya, Mak..”

***

Sepekan sudah umak bersamaku. Aku sangat bahagia. Aku anaknya yang paling kecil, yang masih mau tidur memeluknya. Bau badan ibu adalah aroma terapi yang menenangkan dikala urusan dunia menghimpit, dan menjadi penyemangat dikala terjatuh. Bau badan ibu tercium jika kita mendapatkan pelukannya yang hangat. Tak ada sesuatu yang paling nyaman di dunia ini selain pelukan ibu.

Setelah check up, ibu melanjutkan terapi yang direkomendasikan tetangga kami di kampung. Terapisnya menyarankan agar datang tiga kali dalam seminggu selama satu bulan ini. Dia menjanjikan ibu akan sehat dan tidak akan dioperasi. Aku senang karena ibu akan bersamaku selama sebulan di sini. Biasanya kalau sudah mengunjungiku, dia terburu-buru untuk pulang, alasannya karena ternaknya tidak ada yang mengurus. Kali ini dia minta tolong ke tetangga untuk mengurus ternaknya itu.

“Dek, hari ini umak kan gak terapi. Kita ke rumah tulang* ya sore ini. Umak mau lihat si Raya. Kata tulang mu, dia udah lulus sekolah bidan. Udah kerja di rumah sakit dia sekarang. Umak suka kali sama dia waktu masih kecil. Baik budi, suka menolong umak waktu masak. Ingat kan kau sama dia, Dek?”

“Ingat lah, Mak.. Dia suka kali narik rambutku kalau datang ke rumah kita. Makanya, kalau dia udah datang, aku masuk kamar, ku kunci. Aku gak suka sama anak lasak itu!”

“Rencananya umak mau menjodohkan kau sama dia, Dek. Raya itu anak semata wayang tulangmu. Dia gak mau anak kesayangannya hidup sama laki-laki yang gak dikenalnya. Tulangmu sayang kali ke kau, Dek. Kau tau itu, kan? Bulan lalu kami sempat cerita tentang kalian. Kau udah kerja, Raya pun udah kerja. Dia pengen nimang cucu. Dia pengen kau jadi menantunya, Dek..”

*tulang : paman, saudara laki-laki dari ibu.

Aku hanya terdiam. Tak bisa membantah, apalagi menolak. Padahal ibu sudah tahu hubunganku dengan Mughny.

Pertemuan kami dengan Raya dan tulang ku berbuah kesepakatan untuk menikah. Jahatnya aku, kesepakatan ini belum ku beritakan ke Mughny.

Enam bulan lagi, setelah lebaran haji, aku akan menikah dengan pilihan ibuku. Selama ibu bersamaku, aku meninggalkan Mughny. Pasti dia bertanya-tanya, marah dan sakit hati. Namun, membersamai dengan ibu tak akan pernah terulang lagi, pikirku. Biarlah!

Malam itu masih teringat jelas diingatanku. Setelah sholat isya, ibu membaca surah Al Kahfi. Karena waktu itu malam jum’at. Ku dengar suara ibu melantunkan ayat suciNya sampai aku tertidur di pangkuannya. Aku juga masih merasakan dia memindahkan kepalaku ke bantal agar dia juga bisa tidur di sampingku. Dia membelai rambutku dan menepuk pelan pundakku. Aku masih merasakan semua itu dengan jelas walaupun aku sudah terjaga.

Pukul satu dini hari, ibu membangunkan ku. Dia merasa dadanya sesak. Dan aku melihat ibu sudah tersengal-sengal. Segera ku bawa ibu ke rumah sakit terdekat. Di dalam mobil dia masih sempat berbicara denganku.

“Dek, umak minta maaf.. Umak egois.. Dari kecil kau gak pernah membantah umak, selalu nurut apa kata umak. Umak lihat kau bahagia dengan Mughny, tapi masih ingat dengan umak.”

Ku acuhkan ibu ku. Aku sudah takut. Di perjalanan aku juga menghubungi kakak dan abangku yang berada di luar kota agar segera datang. Setelah ku hubungi mereka, kami pun sudah di depan pintu UGD rumah sakit. Ketika turun dari mobil, ibu berkata.

“Dek, umak ridho kau bersama Mughny. Setelah lebaran ini kita tanya keluarganya, yaa..”

Kalimat terakhir yang disampaikan ibuku sebelum dia tak sadarkan diri. Tangannya menggenggam erat tanganku. Seakan dia ingin mengatakan, aku harus kuat. Matanya terpejam, namun ada air mata yang keluar di ujungnya. Dia seakan sudah tahu bahwa pagi ini dia tak akan melihat matahari bersinar lagi. Aku dan saudaraku membacakan ayat-ayat suci al-qur’an untuk mendoakan kebaikannya, agar dia sadar dari tidurnya.

Membaca ayat suci al-qur’an seakan memutar memori masa kecilku bersama ibu. Kenakalan ku yang membuat dia harus berteriak-teriak setiap sore karena tidak mau pulang, terlalu asik bermain. Suapannya di pagi hari sebelum berangkat ke sekolah. Pelukannya ketika aku dimarahi ayah. Aku sudah sangat merindukannya. Bangunlah ibu! Teriakku di dalam hati.

Seorang perawat memanggil kami yang sedang menunggu di luar ruang UGD. Kami berlari menghampiri perawat itu. Berita yang tidak ingin kami dengar.

Ibuku pergi ketika binar fajar jum’at benderang. Sang Khalik menjemputnya bersama cahaya mentari pagi yang hangat. Tak lah boleh aku merasa tak ikhlas, aku harus menerima kepergian ibuku tersayang.

Pagi itu kami mengantarkan ibu ke peristirahatannya yang terakhir. Aku menghubungi Mughny, ku kirim pesan kepadanya.

“Assalamu’alaikum. Mughny, pagi ini ibu ku dipanggil Allah..”

“Innalillahi wa inna ilayhi roji’uun”, balasnya singkat.

Setelah proses pemakaman selesai, aku terkejut. Mughny menghampiriku, tak ada kata yang keluar dari bibirnya. Hanya saja matanya berair. Dia mengulurkan tangannya, menggenggam erat tanganku. Menguatkanku. Tak dapat ku pungkiri, wanita yang paling ku cintai setelah ibuku, adalah dia. Binar Mughny Shalihah.





















Maya Fasindah
Blog seorang guru dan alhamdulillah seorang penulis yang masih terus belajar dan belajar.

Related Posts

Posting Komentar