..

Cerpen-Hibat Papa Ganapa


“Kau harus ikut aku dek, ini udah keputusan final.”

Kalimat itu mengejutkanku saat Ia tiba di rumah sepulang ngojek. Sembari membuka jaketnya, ia terus menatapku dengan tatapan jurus satu titik ke mataku. Aku temangu mengerinyat dahi, heran. Saat itu sinetron kesukaanku sedang genting-gentingnya tentang bagaimana keadaan sang tokoh utama, antara hidup dan mati.

Bak sinetron, kehidupanku saat ini hampir mengalami hal yang sama, aku sebagai tokoh pendamping harus siap berjuang bersama tokoh utama, sang suami di kehidupan yang baru, apakah kehidupanku nantinya benar-benar hidup atau mati karena terpaksa keluar dari zona nyaman.
“Abang kan tahu saat ini aku sedang hamil, mana mungkin kita pindah gitu aja, harus dipikirkan dengan matanglah, jangan matang-matang telor ceplok.” Ucapku memegang perut yang setengah buncit karena masih tahap 3 bulan lebih,

“Justru saat usia sekarang ini cocok jika kita pindah. Kenapa? Karena dua anak kita kan udah lahir di Medan, nah kali ini biarlah dia lahir di kampungku, tanah kelahiranku. Selatpanjang. Menurut mata teropong ku nih ya, anak kita tuh laki-laki loh. Gak percaya? Kita lihat aja nanti.”

“Mata teropong, mata teropong. Matamu.” Ujarku cengar-cengir.

“Yang sopan kalo ngomong sama majikan, dasar tuman.”Katanya menepuk-nepuk pipiku mesra.

”Nih, siapin makan siangnya, abang mau jemput anak-anak dulu, pada kering nanti nunggu depan pagar.” Ia menyodorkan makanan untuk kami santap nanti bersama anak-anak.

Begitulah suamiku, Ia sosok suami yang tegas namun terkadang mellow jika hatinya benar-benar tersentuh. Ia sosok suami yang sangat bertanggung jawab dengan keluarganya. Apa yang harus ku katakan pada anak-anak nanti, mereka pasti tidak akan setuju dengan keputusan Bapaknya. Terlebih anak sulungku, pastilah dia orang pertama mengajukan protes dengan berbagai alasan.

Apalah daya, aku hanya seorang istri yang harus mengikuti suami kemana pun ia pergi, sebab ia lah nahkoda kapal yang mementukan dimana harusnya berlabuh. Dan sebagai seorang anak, tentu aku melakukan hal yang sama dengannya sebab usia kedua orangtuanya semakin renta dan sakit-sakitan. Mertua lelakiku, mereka biasa memanggilnya dengan sebutan Sultan Mahmud, saat ini tengah mengalami sakit. Dan sudah beberapa kali masuk rawat inap sementara hanya suamiku lah yang paling jauh diantara semua keluarganya. Tidak berbeda jauh dengan mertua perempuanku yang biasa dipanggil Emak, beliau juga memiliki riwayat penyakit gula dan khawatir jika penyakitnya kambuh, ia hanya bisa berbaring.

Bagaikan buah simalakama, aku hanya memiliki seorang Ayah yang juga memasuki usia tidak muda lagi, sejak kematian Ibu Ayah terlihat kurus, wajahnya mulai keriput. Siapa lagi yang akan mengurusnya nanti selain aku dan ia sangat menyayangi cucu-cucunya. Aku adalah anak pertama dan saat ini hanya anak ku lah yang masih menempati posisi teratas cucu. Hihihihihi. Ayah pasti sangat mengerti bagaimana posisiku saat ini, sebab ia lah yang sering memotivasiku tentang bagaimana berumah tangga yang baik, bagaimana seharusnya istri dan bagaimana pula sebaiknya seorang Ibu. Banyak pelajaran penting dan berharga yang kudapat dari Ayah.

Semua persiapan makan siang selesai. Seperti biasa suamiku pasti membeli lauk beserta keronco-keronconya. Ia memang meringankan bebanku, tak perlu repot di dapur katanya. Jadilah aku istri yang paling bahagia seluruh gang Darussalam sebab di gang rumahku ini yang kutahu hanya aku saja yang jarang sekali repot di dapur.

“Assalamualaikum mak.” Riuh suara kedua anak ku telah terdengar saat mereka membuka pagar rumah. Rumah kecil yang sederhana namun kami bahagia di dalamnya.

“Waalaikumussalam warohmatullohi wabarokatuh.”

“Makan apa kita hari ini Mak? Apakah ada ayam goreng?” tanya anak ku yang nomor dua sebut saja namanya Nadhifa.

“Pasti ada dong.”

“Siapa dulu Bapaknya.” Seru suamiku menepis ucapanku.

“Loh kok Bapaknya, Pak.” Sahut Ghalin, putri sulungku.

“Ya iyalah, kan Bapak yang beli.”

“Ya lah, ya lah, Bapak menang.”

“Alhamdulillah ya Mak, hari ini kita makan Ayam.”

“Dek, kita kan sering makan Ayam kok cuma hari ini aja yang di syukuri, kemarin-kemarin kemane aje loe.”

“Semalam kan kita makan pakai telur Mbak. Hari ini baru makan Ayam lagi. Yah di syukurilah.”

“Lah jadi maksudnya kalau makan Ayam aja di syukuri, makan yang lain enggak, gitu maksudnya.”

“Bukan adek yang ngomong loh Mbak, tetapi Bu Jizah.”

“Emang apa kata Bu Jizah dek?” Tanya Bapak Penasaran.

“Kata Bu Jizah, kita harus mensyukuri nikmat Allah. Makan Ayam itu kan nikmat, makanya di syukuri.”

Kami tertawa mendengar ucapan Nadhifa, keluarga ini terasa begitu hangat, tenteram dan damai. Aku selalu berdoa semoga keluarga kami akan selalu seperti ini dimana pun kami berada.

“Oalah Ndok…Ndok…, makan apa aja ya wajib di syukuri bukan cuma makan Ayam.”

“Adek kan cuma suka ayam goreng, mbak.”

“Udah-udah, di depan makanan kita enggak boleh ribut, harus di syukuri apa pun makanan kita. Untuk adek, semua yang ada di dunia ini adalah nikmat Allah swt, bukan Cuma ayam goreng, adek sehat bisa sekolah, bisa bermain itu juga nikmat Allah banyak anak-anak di luar sana yang enggak bisa sekolah. Sekarang adek ngerti kan? Ucap Bapaknya menjelaskan.

Nadhifa pun akhirnya mengangguk-angguk kan kepalanya, dan kami pun mulai menyantap hidangan tadi.

“Selesai makan jangan dulu main ya, ada yang mau Bapak bicarakan dengan kalian.”

Ghalin memberikan kode padaku seolah bertanya dengan gerakan kepalanya. Aku yakin dia pasti gak akan siap dengan keputusan Bapaknya, tetapi mau bagaimana lagi. Apa pun keputusannya tetap wajib di turuti.

Makan siang selesai hidangan pun ludes, seperti biasanya selesai makan siang Nadhifa pasti menghidupkan tv dan berbaring hingga akhirnya tertidur. Tetapi khusus hari ini dia terpaksa menunda kartun kesayangannya.

“Adek, jangan hidupkan tv dulu. Kita harus dengarkan Bapak bicara.”

“Yah, hari ini kartun adek sedang seru-seruny loh Mbak.”

“Nadhifa…….” Seru Bapaknya.

“Ya Pak.” Ucapnya dengan nada kecewa.

“Dengarkan Bapak ya, sebentar lagi kan kita memasuki bulan Ramadhan, setelah itu Lebaran. Kita akan pulang kampung ke rumah Mbah Lanang dan Mbah Wedok, tetapi setelah itu kita enggak akan balik ke Medan lagi.”

“Yah, kok gitu Pak, jadi sekolah Mbak gimana? Mbak udah terlanjur betah Pak di sekolah itu.”

“Mak, disana ada Mol kan Mak? Trus nanti kita tetap bisa jalan-jalan seperti disini kan Mak?”

“Disana tuh enggak ada apa-apa loh Dek, kampung. Di kampung itu enggak enak, mau ngapain-ngapain pun susah. Mol enggak ada, yang ada cuma warung kecil dan pohon-pohon. Kampung lah pokoknya.”

“Walaupun kita tinggal di kampung, Bapak janji tetap akan bahagiain kalian semua, cuma kalian lah harta yang paling berharga Bapak.”

Ghalin hanya terdiam, tunduk, hilang semangat. Wajahnya lesu, tetapi mau bagaimana lagi, jika Kepala rumah tangga sudah bicara, itu keputusan yang tidak bisa di ganggu gugat. Anehnya Ia sama sekali tidak protes bahkan tidak bertanya sedikitpun padaku, sebagai seorang Ibu aku sangat memahami bagaimana isi hatinya, hal itu terlihat dari tetesan air mata yang secara tidak sengaja ku lihat saat Ia sedang mengangkat piring kotor ke dapur.

“Ghalin? Mamak tahu ini memang berat, tetapi percayalah Nak, apa yang sudah menjadi keputusan Bapak pastilah itu hal yang terbaik untuk kita.”

“Ya Mak, mbak ngerti kok. Sebagai anak kita harus menuruti perkataan orangtua, tujuan Bapak bagus kok Mak, Bapak juga memberikan pelajaran berharga bahwa kita harus berbakti kepada orangtua bagaimana pun dan apa pun keadaannya.”

“Masha Allah, ternyata anak Emak sudah berpikir dewasa dan bisa memutuskan secara bijak.”

“Alhamdulillah Emak.”

Aku lega mendengar keputusan yang diambil Ghalin, setidaknya Ia sudah siap meninggalkan kenangannya disini, lantas bagaimana denganku? Hatiku masih ragu. Aku akan berusaha menenangkan hatiku dan siap berjuang di tempat yang baru.

Bulan Ramadhan pun tiba, seperti biasanya aku selalu menyiapkan makan sahur meski enggak pandai memasak, jauh berbeda dengan Ibuku. Ramadhan kali ini tentu sangat berbeda dengan Ramadhan sebelumya, kali ini tanpa Ibu. Meski begitu aku harus tetap semangat karena sedang mengandung.

Tiba-tiba saja suamiku, membantu menyiapkan makan sahur, tidak seperti biasanya, mungkin ini bawaan bayiku. Sembari menyiapkan makan sahur, aku bertanya kembali tentang keputusannya itu dan jawabannya selalu sama, aku harus mengikuti keputusannya.

Untuk itu, aku harus benar-benar memantapkan hati dan pikiran meski banyak orang mengatakan tinggal dengan mertua itu tidak sama dengan rumah sendiri, disana ada dua nahkoda sementara Kapal harus terus berjalan dan siap berlabuh, ombak akan semakin besar dan ketika ada arah yang harus dipilih jadi meragukan antara kanan atau kiri. Seperti kata Ayah keputusan suami adalah keputusan yang terbaik, Inshaa Allah.

Dan tibalah saatnya, aku harus pergi meninggalkan kota kelahiranku, adik-adikku dan bahkan Ayahku. Air mata mengiringi kepergian kami, terutama Ghalin. Ia sangat sedih meninggalkan kakeknya, aku teringat ucapan Ayah waktu itu, sewaktu aku meminta izin darinya untuk mengambil keputusan yang berat ini. Setiap langkah adalah Doa dan setiap tetesan air mata adalah kebahagiaan. Ayah akan sealalu mendoakan kalian. Pergilah

Dengan mengucap Bismillah, kami sekeluarga pergi dan siap berjuang di tempat yang baru. Meski ini bukan pertama kalinya berada disini tetapi tetaplah terasa masih canggung, bahkan tidurpun tidak nyenyak sebab masih menyesuaikan diri.

Meskipun mengandung, aku tetap harus melanjutkan karirku sebagai seorang guru. Sebab dimana pun berada tetaplah tugas utamaku menjadi pendidik. Alhamdulillah aku masih bisa mengajar meski sudah pindah. Syukur yang tidak terhingga, begitu juga dengan anak-anak ku. Mereka harus melanjutkan sekolahnya.

Lantas bagaimana dengan suamiku? Pekerjaannya di kota dapat dikatakan mudah dicari, sedang di kampung Ia masih harus menyesuaikan diri. Karena daerah ini adalah daerah yang sebahagian besar penduduknya menoreh (bekerja mengambil getah dari pohonnya) sulit Ia lakukan, meski dulu pernah mencobanya saat usia sekolah. Namun sejak Ia mengambil keputusan untuk hijrah ke Medan, sejak saat itulah kira-kira 16 tahun yang lalu Ia tak pernah lagi menyentuh pohon getah.

Sebagai seorang suami dan menantu yang telah berjanji kepada Ayahku bahwa Ia akan bertanggung jawab sepenuhnya, pekerjaan apa pun akan Ia lakukan demi menghidupi keluarganya. Menoreh adalah pekerjaan yang sangat melelahkan, selain harus bersahabat dengan cuaca penghasilannya pun jauh dikatakan cukup, sedangkan Ia harus mempersiapkan segala sesuatunya untuk anak yang akan lahir nanti. Masih banyak persiapan yang harus di lakukan, sebab kami harus memulainya kembali dari nol.

Apa yang diharapakan suamiku jauh berbeda dari kenyataannya. Ternyata benar kata pepatah jika jauh terasa harum, maka dekat terasa bau. Begitulah kenyataan pahit yang harus dialaminya. Beban hidup tidak hanya harus dipikul, beban hati juga harus dirasakan. Kehidupannya memang jauh berbeda dari saudara-saudaranya, mereka 9 bersaudara dan suamiku adalah anak ke 8. Nyinyiran, sindiran serta cacian kami rasakan. Tidak hanya suamiku, aku dan anak-anak ku harus menanggung semuanya. Yang membuat hatiku sesak dan menangis adalah ketika Ayahku menanyakan tentang bagaimana khabarku dan anak-anak, maka tiap kali itu juga aku harus berbohong dan meminta anak-anakku ikut berbohong bahwa kami baik-baik saja. Teapi kenyataannya tidak.

Aku dan suami bisa saja menahan, menepis semua perkataan dan perlakuan pahit itu, tetapi anak ku yang bahkan sebelumnya tidak pernah mendapat perlakuan buruk, kali ini Ia harus mencicipi sedikit kehidupan pahit itu. Jarak antara sekolah dan rumah cukup jauh, karena itu suamiku mencarikan sepeda bekas agar anak-anak ku dapat melanjutkan pendidikannya. Tidak disangka-sangka Ghalin mampu meraih juara di sekolahnya dan di kenal guru-guru. Karena itu pulalah Ia mendapat perlakuan buruk dari teman-temannya. Sepulang sekolah Ia harus berjalan dengan sepeda hanya memiliki roda satu dan buku-buku pelajarannya ditemukan di parit sekolah dengan keadaan basah dan kotor. Sepulang sekolah Ia menangis sejadi-jadinya dan memberitahukannya pada nenek serta Bibi-binya karena saat itu Bapaknya belum kembali dari menoreh. Namun apa yang Ia dapatkan, maksud hati ingin berlindung tetapi mereka tertawa dan bahkan hal yang paling menyedihkan adalah hal itu dilakukan oleh anak Bibi nya sendiri.

Sekembalinya aku dari mengajar, Ghalin menceritakan semuanya padaku. Hatiku begitu sakit, ingin rasanya tangan-tangan ini membalas dengan ratusan tamparan. Tetapi aku masih teringat kembali dengan nasehat Ayah bahwa kehidupan di kampung jauh berbeda dengan kehidupan di kota, jika ingin naik derajat dan mulia di mata Allah maka lebih baik sabar dan berserah diri padaNya. Aku lebih baik mensehati anak ku bahwa anggap saja ini adalah ujian bagi keluarga kami agar hidup lebih baik lagi. Alhamdulillah Ghalin berbesar hati menerimanya.

Suamiku memang tidak tinggal diam, namun apalah daya, yang terjadi telah terjadi Ia tidak mahu ribut dengan saudaranya sendiri. Belum lagi perlakuan mertua dan kakak-kakak iparku, aku hanya bisa membungkam mulutku sendiri dengan terus menyebut Asma Allah kelak aku harus kuat dan melahirkan anak yang hebat. Ya, bayiku seorang lelaki yang hebat, kuat dan tampan. Benar kata mata teropong Bapaknya bahwa anak kami adalah laki-laki dan diberi nama Fadhilah Al-Kahfi. Seorang anak lelaki yang akan membawa perubahan hidup keluarga kami.

Alhamdulillah, sedikit demi sedikit keadaan ekonomi kami pun berubah. Aku sangat bersyukur, suami yang tadinya menoreh, membelah kayu, mengumpulkan pinang untuk dijual, bahkan mengambil daun pisang untuk di jual ke pasar hanya untuk mendapatkan 1 Kg beras, Mashaa Allah kini Ia tidak perlu repot-repot melakukan semua itu, karena kini Ia bekerja meski sebagai kuli bangunan, semua kebutuhan dapat di penuhi termasuk merawat Ibunya yang sedang mengalami sakit gula pasca operasi, di tambah lagi honorku sebagai penulis kian hari semakin bertambah dan aku mampu mencapai prestasi guru terbaik di sekolah tempatku mengajar.

Setidaknya hal ini menjadi bukti kepada mertua dan saudara-saudara iparku lainnya, bahwa hidup tidak harus merendahkan orang lain, dan pujian tidak akan meninggikan derajat seseorang. Boleh saja melempar batu sembunyi tangan, tetapi tetaplah ada campur tangan Allah di setiap urat nadi manusia. Bersyukur, bersyukur, bersyukur maka Allah akan menambahkan nikmatnya. Sedekah, sedekah, sedekah maka Allah akan memperluas rezekimu. Begitulah kata suamiku yang kini aku menyebutnya Papa Ganapa. (Bapak Ghalin Nadhifa Fadhilah).








Maya Fasindah
Blog seorang guru dan alhamdulillah seorang penulis yang masih terus belajar dan belajar.

Related Posts

Posting Komentar