..

Kebun Sagu Mbah Lanang

 

Terik matahari begitu menyengat siang itu, pandangan mataku tertuju pada pria yang membawa tumpukan batang Sagu diatas gerobak yang diikat dengan tali bekas ban dalam. Gerobak itu ditarik menggunakan kendaraan roda dua. Jalannya pelan, karena menjaga keseimbangan agar batang sagu yang dia bawa tidak terjatuh, sebab jalan di desa ini bak gelombang, aspalnya terpecah-pecah serasa berada dalam kapal yang terkena ombak, naik-turun. Tidak hanya pria itu, gerobak lain pun hilir-mudik melewati salah satu jalan di desa Lalang Tanjung, kecamatan Tebing Tinggi Barat, Kabupaten Kepulauan Meranti ini.

Gerobak merupakan salah satu alat transportasi yang digunakan oleh warga sekitar, tidak terkecuali juga batang Sagu. Untuk itu, gerobak sudah tidak asing lagi di Kabupaten berjuluk desa tanah merah ini.

Di kanan-kiri jalan, aku disuguhkan dengan pohonan karet atau getah dan beberapa rumah warga yang masih satu persatu. Pandangan lain membuat ku enggak bisa menahan tawa ialah banyaknya monyet yang bergelantungan di sekitaran pohon seolah memperlihatkan pertunjukan lompatan tertinggi diantara monyet-monyet itu. Aku terkesima dengan monyet betina yang membawa anak juga bergelantungan enggak kalah seru dengan yang lain, seolah mereka sedang memberitahukan bahwa mereka adalah keluarga monyet yang sangat bahagia. Abang becak juga ikut tertawa.

Saat ini musim kemarau, debu-debu berterbangan menutupi jarak pandangku menuju rumah mbah Lanang ( mbah artinya kakek, sedangkan lanang artinya lelaki dalam bahasa Jawa) warga biasa menyebutnya Sultan Mahmud sebab beliau lah orang yang pertama kali ada di desa ini.

Desa Lalang Tanjung di diami oleh tiga suku, suku Melayu, Jawa dan Akit. Mbah Lanang termasuk suku Jawa. Meskipun berbeda suku, kehidupan desa ini terjalin dengan rukun dan damai.

Rasa penasaranku semakin memuncak saat abang becak menanyakan perihal sagu itu, meski hal ini bukanlah pertama kalinya aku melihat batang Sagu, hanya saja sampai saat ini aku sama sekali enggak tahu bagaimana prosesnya.

“Mau dibawa kemana Sagu-sagu itu kang,” tanya nya.

“Sagu ini mau saya bawa ke tepi laut, nanti balik lagi ke kebun,” ujar pria itu kepada abang becak.

Pria itu juga menceritakan pada kami dalam setengah hari mengaku sudah puluhan kali bolak-balik dari titik kebun Sagu yang sedang dipanen ini menuju ke tepian laut, jaraknya kurang lebih 2,5 kilometer. Dari tepian laut, batang Sagu yang sudah selesai dia usung itu, nantinya ada yang mengambil menggunakan perahu untuk dikirim ke pabrik tepung Sagu.

Aku semakin enggak sabar sampai ke rumah mbah Lanang. Beliau berjanji padaku bahwa liburan kali ini akan membawaku ke kebun Sagu miliknya. Melihat langsung bagaimana menebang pohon Sagu, memotong sampai akhirnya dibawa menggunakan gerobak.

Akhirnya dengan perjalanan yang cukup melelahkan, aku sampai di rumah mbah Lanang.

“Assalamualaikum mbah,” seru ku

“Waalaikumussalam warohmatullohi wabarokatuh, naiklah. Mbah tengah masak lempeng Sagu nih,” sahut mbah Wedok dari arah dapur.

Aromanya terasa begitu harum membuat cacingku bernyanyi kegirangan. Aku pun langsung menuju dapur dan bersalaman dengan mereka.

“Hmm…mbah tau aja ya kalau aku akan cepat sampai hari ini,” tanganku langsung menghampiri lempeng Sagu yang berada diatas opeh (sebutan daun sagu kering dalam bahasa Jawa).

“Sabar, masih panas,” ucap mbah Lanang.

Aku pun tersenyum, malu karena lapar. Kalau sudah lapar makanan apa pun menjadi lezat, begitu halnya lempeng Sagu, mereka menyebutnya pizza Melayu. Lempeng Sagu ini diolah menggunakan tepung Sagu dicampur dengan parutan kelapa muda, setelah itu dipanggang diatas api kecil hingga kuning kecoklatan. Biasanya dinikmati dengan sambal teri, bertambah kelezatannya.

Selesai menikmati lempeng, aku langsung menagih janji pada mbah Lanang perihal kebun Sagu itu. Mbah Wedok (wedok, artinya perempuan dalam bahasa Jawa) dan mbah Lanang menggeleng-gelengkan kepalanya menandakan bahwa siapapun yang sudah berjanji padaku, aku langsung menagihnya tanpa basa-basi.

Mbah Wedok dan mbah Lanang memahaminya, mereka membawaku ke kebun Sagu dengan mengendarai sepeda motor. Meskipun usia mbah Lanang tidak muda lagi, beliau masih mampu mengendarai sepeda motor layaknya kawula muda. Dihidupkannya mesin motor, dan segera melaju pergi.

Sampai disana, aku melihat beberapa orang sedang bekerja termasuk pria yang kutemui tadi di jalan, ternyata pria itu adalah salah satu orang kepercayaan mbah Lanang, namanya Sobar. Orang biasa memanggilnya dengan kang Sobar. Kang Sobar mengemban tugas memanen, sesekali ia juga membantu membawa batang Sagu ke jalan.

Dua sosok pria terlihat sedang mendorong Sagu, melewati batang daun Sagu yang sudah dipersiapkan sebagai jalan masuk ke rumpun, agar memudahkan proses pengangkutan hasil tebangan, polanya seperti rel kereta api. Di kanan-kirinya masih terdapat rimbunan tanaman Sagu yang belum dipangkas, sehingga dua orang ini seolah baru keluar dari gua yang ditumbuhi tanaman sagu.

Aku takjub melihat peralatan yang digunakan untuk mendorong Sagu, yaitu kayu berukuran tiga meter yang sudah dipasangi besi, kemudian diapitkan ke kanan kiri Sagu. Mbah Lanang menjelaskan proses pemanenan ini memang dilakukan dari dalam terlebih dahulu. Alasanya, jika penebangan sudah dekat dengan jalan, nantinya akan lebih ringan. 

 

        foto by: Falahi Mubarok.
 

“Prosesnya tidak mudah, karena masih dengan cara manual, sehingga membutuhkan banyak tenaga, apalagi Sagu ini kan yang di panen batangnya,” ujar kang Sobar menimpali.

Mbah Lanang juga menjelaskan bahwa panen Sagu bisa dilakukan saat pohon berusia 6-7 tahun, atau bila ujung batang mulai membengkak, disusul keluarnya selubung bunga dan pelepah daun berwarna putih, terutama pada bagian luarnya, untuk ketinggianya antara 10-15 m, dengan diameter 60-70 cm. Sementara itu, tebal kulit luar 10 cm, dan tebal batang yang mengandung Sagu 50-60 cm.

Selain kang Sobar, kang Darso bertugas sebagai tukang nebang. Dengan menggunakan mesin gergaji, dalam sehari dia mengaku bisa menebang rata-rata 100 tanaman Sagu. Itu dimulai dari jam 06.00 WIB sampai dengan jam 04.00 WIB, waktu istirahatnya dari jam 10.00-13.00 WIB.

Dia melanjutkan, tanaman Sagu yang selesai ditebang itu kemudian dibersihkan, berikutnya dipotong menjadi 5-7 bagian, tergantung besar tingginya Sagu. Selain gergaji mesin, alat lain yang digunakan yaitu kampak dan golok.

Proses selanjutnya dibuatkan lubang hidung untuk tali, karena nantinya akan digabung dan ditarik dengan menggunakan perahu.

“Pekerjaan seperti ini membutuhkan tenaga kuat. Resikonya juga besar, banyak durinya, belum nanti ada ularnya. Tapi demi keluarga apapun saya lakukan, asal pekerjaan itu halal,” ungkap kang Darso, sesekali mengusap keringatnya yang bercucuran dengan menggunakan kaos lusuh yang dipakainya.

Selain kang Darso, kang Bilan juga bercerita bahwa saat mencari rezeki ini dia dan rekannya sudah seminggu meninggalkan keluarga di rumah, dalam sehari kang Darso dibayar Rp 100 ribu oleh mbah Lanang, mbah Wedok juga membantu mengantarkan makanan tiap harinya. Dia mengaku menikmati pekerjaan ini, selain bisa mendapatkan rezeki fisiknya juga bisa sehat.

“Saya syukuri saja, mumpung masih kuat, saya anggap ini olahraga yang dibayar,” katanya.

Melihat mereka semua, aku sangat mensyukuri hidupku yang masih berkecukupan. Sungguh berat ternyata perjuangan orang-orang yang bekerja di kebun Sagu mbah Lanang. Mbah lanang pun sangat mensyukuri atas rezeki yang ia dapatkan, baik itu kebun sagu maupun orang-orang yang bekerja padanya. Mbah Lanang mengakui para pekerjanya adalah pekerja keras dan jujur.

Hari pun semakin senja, kami kembali ke rumah dan mempersiapkan makan malam bersama-sama tentu saja masih ditemani dengan olahan sagu yang lainnya.

Maya Fasindah
Blog seorang guru dan alhamdulillah seorang penulis yang masih terus belajar dan belajar.

Related Posts

Posting Komentar