Kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan (KBGtP) di Indonesia masih menjadi isu serius dan merupakan tantangan utama dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan. Data dari berbagai sumber, terutama Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), menunjukkan tingginya angka kekerasan yang dialami perempuan. 
Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan dan data SIMFONI PPA, jenis kekerasan yang paling menonjol meliputi:
 
 
Angka ini sedikit menurun dari tahun sebelumnya, namun peningkatan ini juga dapat diartikan sebagai meningkatnya keberanian korban untuk melapor dan semakin terbukanya akses pelaporan.
Kekerasan terhadap perempuan paling banyak terjadi di lingkungan yang seharusnya paling aman, yaitu Ranah Personal (Rumah Tangga) dan Ranah Siber/Teknologi.
Ranah Rumah Tangga (KDRT): Data menunjukkan bahwa mayoritas kasus kekerasan, sekitar 58,75%, menimpa korban di lingkungan rumah tangga. Pelaku seringkali adalah suami, mantan pasangan, atau anggota keluarga lainnya.
Ranah Publik/Komunitas: Kasus kekerasan seksual dalam ranah ini, seperti di tempat kerja, fasilitas umum, atau lembaga pendidikan, juga mencatatkan angka yang tinggi.
Sejak pandemi, terjadi lonjakan drastis pada kasus Kekerasan Seksual Berbasis Teknologi (KSBT). Kasus-kasus seperti revenge porn, penyebaran konten intim non-konsensual, dan pelecehan siber menjadi aduan utama.
Hal ini menjadi alasan utama mengapa fokus Justitia Avila Veda melalui KAKG adalah memberikan bantuan hukum untuk kasus KSBT, di mana korban seringkali dihadapkan pada kesulitan pembuktian dan ancaman hukum balik (misalnya, dijerat UU ITE).
Kekerasan terhadap perempuan tidak hanya menimbulkan luka fisik, tetapi juga dampak psikologis yang parah dan jangka panjang. Dampak yang paling sering dialami korban adalah:
Trauma, Rasa Takut, dan Malu: Mayoritas masyarakat sepakat bahwa trauma dan rasa malu adalah dampak yang sering dialami oleh korban.
Kesehatan Mental: Kekerasan dapat memicu gangguan mental serius, termasuk depresi dan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Tingginya angka kekerasan ini menunjukkan betapa krusialnya peran inisiatif seperti Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG) yang dipimpin oleh Justitia Avila Veda dalam memberikan pendampingan hukum pro bono, psikologis, dan medis untuk memutus mata rantai impunitas bagi pelaku dan memulihkan hak-hak korban.
Justitia Avila Veda adalah sosok advokat muda yang mendedikasikan dirinya untuk memperjuangkan keadilan dan memberikan pendampingan bagi korban kekerasan seksual di Indonesia. Melalui inisiatif dan ketulusannya, ia telah menjadi "suara bagi yang tak terdengar" dan pelita harapan di tengah kompleksitas kasus kekerasan seksual.
Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan dan data SIMFONI PPA, jenis kekerasan yang paling menonjol meliputi:
| Jenis
  Kekerasan (Januari–Oktober 2025) | Jumlah Korban
  (Kemen PPPA) | Keterangan | 
| Kekerasan
  Seksual | ± 11.049
  korban | Meliputi
  pelecehan, pemerkosaan, dan kekerasan berbasis teknologi. | 
| Kekerasan Fisik | ± 8.533 korban | |
| Kekerasan
  Psikis | ± 7.701
  korban | |
| Total Kasus KBGtP (2023) | ± 289.111 kasus | Angka ini sedikit menurun dari tahun sebelumnya,
  namun peningkatan ini juga dapat diartikan sebagai meningkatnya keberanian
  korban untuk melapor dan semakin terbukanya akses pelaporan. | 
Angka ini sedikit menurun dari tahun sebelumnya, namun peningkatan ini juga dapat diartikan sebagai meningkatnya keberanian korban untuk melapor dan semakin terbukanya akses pelaporan.
Kekerasan terhadap perempuan paling banyak terjadi di lingkungan yang seharusnya paling aman, yaitu Ranah Personal (Rumah Tangga) dan Ranah Siber/Teknologi.
Ranah Rumah Tangga (KDRT): Data menunjukkan bahwa mayoritas kasus kekerasan, sekitar 58,75%, menimpa korban di lingkungan rumah tangga. Pelaku seringkali adalah suami, mantan pasangan, atau anggota keluarga lainnya.
Ranah Publik/Komunitas: Kasus kekerasan seksual dalam ranah ini, seperti di tempat kerja, fasilitas umum, atau lembaga pendidikan, juga mencatatkan angka yang tinggi.
Sejak pandemi, terjadi lonjakan drastis pada kasus Kekerasan Seksual Berbasis Teknologi (KSBT). Kasus-kasus seperti revenge porn, penyebaran konten intim non-konsensual, dan pelecehan siber menjadi aduan utama.
Hal ini menjadi alasan utama mengapa fokus Justitia Avila Veda melalui KAKG adalah memberikan bantuan hukum untuk kasus KSBT, di mana korban seringkali dihadapkan pada kesulitan pembuktian dan ancaman hukum balik (misalnya, dijerat UU ITE).
Kekerasan terhadap perempuan tidak hanya menimbulkan luka fisik, tetapi juga dampak psikologis yang parah dan jangka panjang. Dampak yang paling sering dialami korban adalah:
Trauma, Rasa Takut, dan Malu: Mayoritas masyarakat sepakat bahwa trauma dan rasa malu adalah dampak yang sering dialami oleh korban.
Kesehatan Mental: Kekerasan dapat memicu gangguan mental serius, termasuk depresi dan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Tingginya angka kekerasan ini menunjukkan betapa krusialnya peran inisiatif seperti Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG) yang dipimpin oleh Justitia Avila Veda dalam memberikan pendampingan hukum pro bono, psikologis, dan medis untuk memutus mata rantai impunitas bagi pelaku dan memulihkan hak-hak korban.
Justitia Avila Veda adalah sosok advokat muda yang mendedikasikan dirinya untuk memperjuangkan keadilan dan memberikan pendampingan bagi korban kekerasan seksual di Indonesia. Melalui inisiatif dan ketulusannya, ia telah menjadi "suara bagi yang tak terdengar" dan pelita harapan di tengah kompleksitas kasus kekerasan seksual.
Berawal dari Cuitan, Lahirkan Kolektif Advokat
Latar belakang Justitia sebagai penyintas kekerasan seksual dan pengalamannya sebagai lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia menumbuhkan empati mendalam. Pada Juni 2020, di tengah situasi pandemi COVID-19, Justitia mengunggah sebuah cuitan di media sosial Twitter (sekarang X) yang menawarkan bantuan konsultasi gratis bagi korban kekerasan seksual. 
Respons publik sangat luar biasa. Cuitan tersebut viral, dan dalam waktu singkat, puluhan aduan masuk melalui email dan pesan langsung. Melihat besarnya kebutuhan akan bantuan hukum yang pro-korban dan gratis (pro bono), Justitia bersama rekan-rekan advokat lainnya mendirikan Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG) pada tahun 2020.
1. Fokus pada Kekerasan Seksual Berbasis Teknologi (KSBT)
Sebagian besar aduan yang diterima KAKG, sekitar 80%, merupakan kasus kekerasan yang berkaitan dengan teknologi, seperti penyebaran konten intim non-konsensual (revenge porn), cyber grooming, hingga pelecehan online. Justitia dan timnya berupaya mendampingi korban yang sering kali merasa terasing dan takut menghadapi sistem hukum yang rumit.
2. Pendampingan Komprehensif
Pendampingan yang diberikan KAKG bersifat holistik, meliputi:
Konsultasi dan Pendampingan Hukum: Membantu korban memahami hak-hak mereka dan melalui proses hukum, mulai dari pelaporan hingga persidangan, dengan transparan.
Dukungan Psikologis: Bekerja sama dengan psikolog untuk membantu korban mengatasi trauma emosional.
Respons publik sangat luar biasa. Cuitan tersebut viral, dan dalam waktu singkat, puluhan aduan masuk melalui email dan pesan langsung. Melihat besarnya kebutuhan akan bantuan hukum yang pro-korban dan gratis (pro bono), Justitia bersama rekan-rekan advokat lainnya mendirikan Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG) pada tahun 2020.
Peran KAKG: Pendampingan yang Humanis dan Profesional
KAKG, di bawah kepemimpinan Justitia (yang juga menjabat sebagai Divisi Komunikasi), fokus pada penyediaan konsultasi dan/atau pendampingan hukum pro bono bagi korban kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual.1. Fokus pada Kekerasan Seksual Berbasis Teknologi (KSBT)
Sebagian besar aduan yang diterima KAKG, sekitar 80%, merupakan kasus kekerasan yang berkaitan dengan teknologi, seperti penyebaran konten intim non-konsensual (revenge porn), cyber grooming, hingga pelecehan online. Justitia dan timnya berupaya mendampingi korban yang sering kali merasa terasing dan takut menghadapi sistem hukum yang rumit.
2. Pendampingan Komprehensif
Pendampingan yang diberikan KAKG bersifat holistik, meliputi:
Konsultasi dan Pendampingan Hukum: Membantu korban memahami hak-hak mereka dan melalui proses hukum, mulai dari pelaporan hingga persidangan, dengan transparan.
Dukungan Psikologis: Bekerja sama dengan psikolog untuk membantu korban mengatasi trauma emosional.
Edukasi dan Kesadaran: Aktif mengedukasi masyarakat tentang isu kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender sebagai upaya pencegahan.
Mengukir Prestasi dan Inspirasi 

Dedikasi Justitia Avila Veda dalam menyediakan akses keadilan bagi korban yang termarginalkan, seperti anak-anak, perempuan, dan penyandang disabilitas, telah diakui secara luas. Pada tahun 2022, Justitia dan KAKG meraih Apresiasi SATU Indonesia Awards dari Astra dalam kategori Kesehatan, sebagai bentuk pengakuan atas inisiatif mereka dalam membantu korban kekerasan seksual. 
Justitia Avila Veda mengajarkan bahwa keadilan seharusnya menjadi jembatan menuju pemulihan, bukan tembok tinggi yang menakutkan. Kisahnya membuktikan bahwa satu tindakan kecil, yang lahir dari empati dan keberanian, dapat menciptakan perubahan besar dan memberikan harapan bagi masa depan yang lebih baik.
Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan
Justitia Avila Veda berhak mendapat penghargaan Apresiasi SATU Indonesia Awards dari Astra karena beliau terlahir dari keluarga yang benar-benar mengerti hokum. Disebutkan bahwa ayah dan ibunya dulunya adalah pengacara. Pengalamannya tumbuh dalam lingkungan yang memahami dunia hukum ini menjadi salah satu modal awal bagi Justitia untuk mendirikan KAKG.
Selain lulusan S1 Hukum dari Universitas Indonesia, Justitia juga pernah menimba ilmu melalui kursus di Northern Illinois University, fokus pada gerakan hak sipil, feminis, disabilitas, dan buruh migran. Pengalaman ini memperkaya wawasannya mengenai isu-isu keadilan sosial secara lebih luas.
Inspirasi Justitia juga muncul dari pengalaman pribadinya, karena ia sendiri pernah menjadi korban kekerasan seksual saat masih berstatus mahasiswa dan peneliti lepas di kampusnya. Pengalaman ini mendorongnya untuk menjadi bagian dari solusi bagi perempuan lain.
Tantangan dan Rencana ke Depan
Justitia Avila Veda mengajarkan bahwa keadilan seharusnya menjadi jembatan menuju pemulihan, bukan tembok tinggi yang menakutkan. Kisahnya membuktikan bahwa satu tindakan kecil, yang lahir dari empati dan keberanian, dapat menciptakan perubahan besar dan memberikan harapan bagi masa depan yang lebih baik.
Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan
Justitia Avila Veda berhak mendapat penghargaan Apresiasi SATU Indonesia Awards dari Astra karena beliau terlahir dari keluarga yang benar-benar mengerti hokum. Disebutkan bahwa ayah dan ibunya dulunya adalah pengacara. Pengalamannya tumbuh dalam lingkungan yang memahami dunia hukum ini menjadi salah satu modal awal bagi Justitia untuk mendirikan KAKG.
Selain lulusan S1 Hukum dari Universitas Indonesia, Justitia juga pernah menimba ilmu melalui kursus di Northern Illinois University, fokus pada gerakan hak sipil, feminis, disabilitas, dan buruh migran. Pengalaman ini memperkaya wawasannya mengenai isu-isu keadilan sosial secara lebih luas.
Inspirasi Justitia juga muncul dari pengalaman pribadinya, karena ia sendiri pernah menjadi korban kekerasan seksual saat masih berstatus mahasiswa dan peneliti lepas di kampusnya. Pengalaman ini mendorongnya untuk menjadi bagian dari solusi bagi perempuan lain.
Tantangan dan Rencana ke Depan
Perjuangan Justitia dan KAKG tidak lepas dari tantangan: 
Misogini dan Seksisme dalam Hukum: Justitia menyadari bahwa budaya misoginis dan sistem hukum yang seksis masih menjadi tantangan besar. Ia mencatat bahwa banyak aparat penegak hukum yang belum sepenuhnya memahami UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Dampak Trauma dan Stigma: Ia juga fokus pada isu bahwa banyak korban enggan melapor karena stigma sosial, takut akan serangan balik (victim blaming), atau bahkan diposisikan sebagai tersangka dalam kasusnya sendiri. KAKG berupaya menyembuhkan trauma ini dengan menyediakan jejaring pemulihan psikologis dan medis selain bantuan hukum.
Rencana Ekspansi: Meskipun sumber daya terbatas, Justitia bertekad untuk mengembangkan jaringan sukarelawan pengacara dan memperluas cakupan KAKG ke setiap provinsi di Indonesia agar bantuan yang diberikan dapat menjangkau lebih banyak korban di seluruh negeri.
Makna di Balik Nama
Nama Justitia sendiri berarti "Keadilan" dalam bahasa Latin, yang seolah menjadi penanda misinya. Ia ingin menjadi representasi dewi keadilan yang berani dan bijaksana dalam memberantas kasus kekerasan berbasis gender di Indonesia.
Kisah Justitia Avila Veda menegaskan bahwa semangat perubahan dapat dimulai dari individu yang berani bersuara dan memanfaatkan keahlian yang dimiliki untuk melayani sesama.
Rencana dan Visi Justitia Avila Veda serta KAKG
Perjalanan KAKG dalam memberikan layanan pro bono didasarkan pada visi jangka panjang untuk memastikan keadilan bagi semua korban, terlepas dari latar belakang ekonomi atau geografis mereka.
Misogini dan Seksisme dalam Hukum: Justitia menyadari bahwa budaya misoginis dan sistem hukum yang seksis masih menjadi tantangan besar. Ia mencatat bahwa banyak aparat penegak hukum yang belum sepenuhnya memahami UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Dampak Trauma dan Stigma: Ia juga fokus pada isu bahwa banyak korban enggan melapor karena stigma sosial, takut akan serangan balik (victim blaming), atau bahkan diposisikan sebagai tersangka dalam kasusnya sendiri. KAKG berupaya menyembuhkan trauma ini dengan menyediakan jejaring pemulihan psikologis dan medis selain bantuan hukum.
Rencana Ekspansi: Meskipun sumber daya terbatas, Justitia bertekad untuk mengembangkan jaringan sukarelawan pengacara dan memperluas cakupan KAKG ke setiap provinsi di Indonesia agar bantuan yang diberikan dapat menjangkau lebih banyak korban di seluruh negeri.
Makna di Balik Nama
Nama Justitia sendiri berarti "Keadilan" dalam bahasa Latin, yang seolah menjadi penanda misinya. Ia ingin menjadi representasi dewi keadilan yang berani dan bijaksana dalam memberantas kasus kekerasan berbasis gender di Indonesia.
Kisah Justitia Avila Veda menegaskan bahwa semangat perubahan dapat dimulai dari individu yang berani bersuara dan memanfaatkan keahlian yang dimiliki untuk melayani sesama.
Rencana dan Visi Justitia Avila Veda serta KAKG
Perjalanan KAKG dalam memberikan layanan pro bono didasarkan pada visi jangka panjang untuk memastikan keadilan bagi semua korban, terlepas dari latar belakang ekonomi atau geografis mereka.
1. Perluasan Jangkauan Geografis Nasional
Tujuan utama KAKG adalah memastikan ketersediaan akses untuk klien di seluruh Indonesia. Hal ini didorong oleh kesadaran bahwa korban di daerah seringkali memiliki akses yang lebih terbatas terhadap bantuan hukum dan pemulihan.
Fokus Indonesia Timur dan Tengah: Justitia dan timnya berencana untuk menambah jumlah pengacara dan mitra, terutama di wilayah Indonesia Tengah dan Timur untuk mengatasi kesenjangan akses keadilan.
2. Peningkatan Kapasitas Internal (Man Power)
Mengingat tingginya volume aduan (bahkan bisa mencapai 2-4 kasus per hari), KAKG menghadapi tantangan kelelahan (burnout) di antara para advokat dan paralegal. Oleh karena itu, salah satu rencana penting adalah:
Menambah Sumber Daya Manusia (Man Power): Menambah jumlah advokat, paralegal, dan sukarelawan untuk memastikan setiap aduan dapat ditangani secara optimal dan komprehensif.
3. Mengintegrasikan Pendekatan Multidisiplin
Justitia menyadari bahwa proses pemulihan bagi korban kekerasan seksual adalah maraton, bukan sprint. Rencana ke depan melibatkan penguatan pendekatan holistik:
Memperkuat Kemitraan (Partnership): Memperkuat kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk psikolog, dokter, dan lembaga sosial. KAKG ingin memastikan adanya jejaring pemulihan psikologis, medis, dan sosial yang dibutuhkan korban selama penyelesaian perkara dan pasca-perkara.
Strategi Expertise: Melibatkan berbagai ahli untuk menentukan strategi terbaik dalam membantu korban dan mencapai pemulihan keadilan.
4. Penggalangan Dana untuk Kebutuhan Dasar Korban
Meskipun layanan hukum diberikan secara pro bono, Justitia juga berupaya memobilisasi pendanaan untuk membantu kebutuhan dasar para korban yang kurang mampu. Hal ini penting agar korban dapat fokus pada proses hukum dan pemulihan, tanpa terbebani oleh masalah finansial.
5. Transparansi dan Akuntabilitas Publik
Sebagai lembaga nirlaba yang didukung oleh gerakan sosial, KAKG berencana untuk secara rutin membuat laporan pertanggungjawaban kepada publik untuk menjaga transparansi dan kepercayaan masyarakat terhadap dana yang disalurkan.
Secara keseluruhan, visi Justitia Avila Veda bukan hanya memenangkan kasus di pengadilan, tetapi menciptakan sebuah sistem pendampingan yang berkelanjutan, mudah diakses, dan humanis, sehingga setiap korban di Indonesia dapat memperoleh keadilan dan pulih sepenuhnya.
#SatukanGerakTerusBerdampak #KitaSATUIndonesia
#Komunitas ISB
Referensi:
https://www.astra.co.id/satu-indonesia-awards
https://anugerahpewartaastra.satu-indonesia.com/2023/artikel/4092/


 
 
.jpeg) 
 
 
Posting Komentar
Posting Komentar