Diana membuktikan, menjadi guru di daerah terpencil bukan hanya soal profesi, melainkan soal pengabdian seumur hidup. "Hidup tak semata-mata soal uang dan karier yang mentereng di kota besar, namun juga pengabdian bagi sesama," adalah moto yang membuatnya terus bertahan, menjadi mercusuar yang menyinari harapan di tengah kegelapan Mappi.
Pengabdian ini ia mulai pada tahun 2018 di Kabupaten Mappi, Papua (sekarang Papua Selatan), di bawah program inisiasi Pemerintah Kabupaten setempat. Peran ini menuntutnya untuk mengajar di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) dengan segala tantangan yang ada, terutama dalam memberantas buta huruf.
Tergerak, Bergerak, Menggerakkan
Slogan ini adalah slogan atau filosofi dari program Guru Penggerak. Slogan ini sangat populer di lingkungan pendidikan Indonesia, terutama yang terkait dengan inisiatif Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Filosofi ini mencerminkan tahapan perubahan yang harus dilakukan oleh seorang guru.
Tergerak, berarti emiliki motivasi dan kesadaran diri untuk melakukan perubahan positif. Bergerak, mampu berinisiatif dan melakukan praktik baik secara nyata, serta menggerakkan berarti mengajak dan menginspirasi komunitas di sekitarnya (guru lain, kepala sekolah, orang tua, dan murid) untuk turut berpartisipasi dalam perubahan tersebut.
Slogan ini sangat relevan dengan kisah Diana Cristiana Dacosta Ati sebagai Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT), di mana ia sebagai seorang guru tergerak hatinya oleh kondisi sekolah, kemudian bergerak dengan inovasi, dan akhirnya menggerakkan seluruh komunitas Kampung Atti.
Hal ini sangat jauh berbeda dengan saya yang juga salah satu guru penggerak di Kabupaten Kepulauan Meranti, saat saya sibuk dengan pemanfaatan literasi digital; inovasi media pembelajaran dan AI, jauh berbeda dengan Diana, beliau justru berpikir keras bagaimana memecahkan masalah buta huruf di sekolahnya.
Saya sendiri belum tentu mampu melakukan apa yang dilakukan bu guru Diana. Sebagai seorang pendidik, terlebih membawa nama guru penggerak, mengajar bukanlah sekedar menghabiskan jam pelajaran, namun setiap menit yang kita ajarkan memberikan makna berarti bagi mereka. Selama pembelajaran, guru dituntut untuk membahagiakan siswa saat mereka belajar agar mudah menerima pelajaran, namun jika sarana dan prasarana tidak memadai bagaimana siswa mampu belajar dengan baik, tantangan ini lah yang dihadapi bu guru Diana.
"Siswa dan orang tuanya tak mampu menyediakan alat tulis sendiri. Kebanyakan penduduk Atti tak punya penghasilan dan hanya memegang uang saat Bantuan Langsung Tunai dan Dana Desa cair," tutur Diana kepada tim SATU Indonesia Awards 2023.
Untuk memastikan kegiatan belajar-mengajar tetap berjalan, Diana mengambil inisiatif mandiri dengan mencari donasi melalui media sosialnya. Uniknya, dia menolak sumbangan berupa uang tunai, dan meminta donatur untuk memberikan barang-barang yang dibutuhkan seperti buku, alat tulis, dan pakaian layak pakai untuk anak-anak. Dedikasinya begitu besar hingga ia sering menggunakan sebagian dari gajinya sendiri, terutama karena ketersediaan Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) bagi siswa di sana tidak terjamin.
Keberlanjutan program pengajaran ini sangat rentan karena sangat bergantung pada kebijakan Pemerintah Kabupaten Mappi. Saat ini, kontrak guru penggerak harus diperbarui setiap tahun. Situasi ini berbeda ketika masa jabatan Bupati Kristosimus, di mana kontrak diperbarui setiap dua tahun sekali. Sejak masa tugas Bupati Kristosimus berakhir, perhatian pemerintah terhadap para guru penggerak dan siswa di Kabupaten Mappi tampaknya telah menurun.
Menurut Diana, program yang ia bangun pada awalnya berfokus pada fondasi calistung (baca, tulis, hitung). Namun, seiring berjalannya waktu, ia berharap program ini dapat bertransformasi menjadi pembelajaran normal yang menggunakan kurikulum setara dengan sekolah-sekolah di kota besar. Perubahan ini bertujuan agar siswa tidak hanya terpaku pada kemampuan dasar calistung, tetapi juga mendapatkan akses ke materi pembelajaran yang lebih luas dan komprehensif.
Diana sangat memahami bagaimana filosofi pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara bahwa setiap anak terlahir dengan potensinya masing-masing yang berkembang sesuai kodrat alam dan kodrat jamannya. Mereka lahir membawa goresan -- goresan potensi bukan bagai tabularasa. Karena itu dia yakin dengan apa yang ia pelajari selama menjadi guru penggerak pasti membawa dampak besar bagi siswa dan daerahnya.
Untuk itulah ia berinovasi dengan mendirikan perpustakaan “merah putih” di rumah pribadinya. Dibuka setiap sore, (sekitar pukul 16.00 WIT), perpustakaan ini dipenuhi buku bertema nasionalisme, Pancasila, dan cerita pahlawan. Uniknya, pengunjungnya bukan hanya anak-anak, tetapi juga orang tua dan kepala suku. Dengan adanya perpustakaan ini, siswa serta masyarakat menjadikan akses lebih mudah mendapatkan informasi, menjadi pusat kegiatan edukatif informal, tempat masyarakat dapat berkumpul untuk belajar mandiri, mengadakan diskusi kelompok, atau mengikuti pelatihan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan lokal (misalnya pertanian, kewirausahaan).
Perpustakaan seringkali digunakan untuk melestarikan dan mempromosikan sejarah, sastra, dan warisan budaya lokal dan nasional (sesuai dengan nama "Merah Putih" yang melambangkan Indonesia). Dalam konteks daerah yang kurang terlayani, perpustakaan dapat menjembatani kesenjangan informasi (termasuk kesenjangan digital) dengan menyediakan akses internet dan informasi baru yang relevan bagi masyarakat umum, petani, atau pengusaha kecil. Dengan menyediakan ruang yang aman dan nyaman untuk berkumpul, perpustakaan dapat memperkuat solidaritas sosial dan mendorong inisiatif komunitas menuju desa yang lebih maju dan produktif.
Dengan keterbatasan, Diana berupaya mengenalkan teknologi. Ia bahkan mengajarkan siswa bercocok tanam (kangkung, tomat) untuk memberikan keterampilan praktis. Inisiatif ini membuktikan bahwa Diana memanfaatkan segala peluang untuk menjadikan pendidikan sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari di Kampung Atti. Pencapaian ini adalah bukti nyata keberhasilan dan dedikasi Diana Cristiana Dacosta Ati dalam meningkatkan mutu pendidikan di Kampung Atti.
Sesama guru penggerak, dari bu guru Diana saya banyak belajar bahwa apa pun yang kita ajarkan dan lakukan dengan ikhlas, maka hasilnya tidak akan sia-sia. Saat ini saya juga mengajarkan kepada anak didi saya bagaimana memanfaatkan literasi digital dengan membuat blog. Saya meminta siswa saya untuk menuliskan apa yang mampu mereka berikan lewat tulisan, karena tulisan memberikan banyak manfaat dan perubahan.
Salam Literasi, Dari Krisis hingga Prestasi
Setiap pagi di Kampung Atti selalu diawali dengan kabut tebal yang memeluk rawa-rawa. Di tengah sunyi itu, terdengar derap langkah kaki yang melawan lumpur, diikuti suara keras dengan ejaan "A-N-A-K... anak. Ayo kita tulis di buku A, N..."
Begitulah cara Diana mengajari mereka membaca. Bukan di kelas ber-AC atau ruang guru berkarpet, melainkan di sekolah tua yang berdiri rapuh, dikelilingi vegetasi air. Di hadapannya, ada banyak wajah-wajah penuh harapan, mereka penuh rasa ingin tahu, namun mata mereka belum mengenal huruf. Diana, gadis muda dari Atambua, NTT, sering menatap langit Mappi yang mendung. Di sinilah, ribuan kilometer dari kampung halamannya, ia menemukan medan pertempuran bukan melawan penjajah, tapi melawan buta huruf.
Ia ingat betul, saat pertama kali tiba di SDN Atti (setelah sebelumnya bertugas di Kampung Kaibusene), ia menemukan fakta menyayat bahwa siswa kelas enam belum bisa membaca. Kurikulum yang kaku terasa seperti lelucon. Masyarakat percaya, kehebatan ada pada kemampuan berburu di hutan, bukan di buku. Namun Diana berhasil meyakinkan bahwa anak-anak butuh sekolah dan belajar demi masa depan mereka dan demi kemajuan kampung tercinta.
Kampung Atti didiami oleh sekitar 200-an kepala keluarga. Tapi kebanyakan anak-anak tidak pergi ke sekolah. Mereka ikut keluarganya ke hutan untuk mencari makan. Hal ini lah yang menjadi tantangan besar bagi Diana. Sekolah terletak di lingkungan yang sulit, yaitu di tengah ladang, diselingi hutan, rawa-rawa, dan perairan. Jaraknya pun sekitar 1 km dari permukiman kampung Atti. Hanya tersedia tiga ruangan untuk menampung enam tingkatan kelas, yang berarti proses belajar mengajar harus dilakukan dengan sistem yang sangat terbatas atau bergantian.
Meja dan kursi sangat sedikit dan banyak yang sudah tidak layak pakai. Akibatnya, banyak siswa terpaksa belajar dengan duduk di lantai. Kondisi ini menjadi latar belakang mengapa perjuangan Diana tidak hanya soal kurikulum, tetapi juga soal menyediakan lingkungan belajar yang minimal layak. Perjuangan ini menuntut kesabaran dan metode pengajaran yang kontekstual agar anak-anak di pedalaman Papua Selatan dapat mengejar ketertinggalan pendidikan mereka.
Apa yang didapatkan Diana pada program guru penggerak benar-benar dijalankan dengan baik. Diana mengajar dengan tulus dan iklhas sehingga siswa-siswanya benar-benar menerima ilmu dengan sangat baik sehingga mereka berhasil melanjutkan sekolah ke tingkat SMP. Diana berhasil memberikan edukasi pendidikan tidak hanya pada orang tua siswa namun juga pada masyarakat di sekitarnya bahwa pendidikan dan cita-cita itu sangat penting.
Beliau mengatakan bahwa mimpi dan cita-cita mereka nantinya akan membuat desa Atti semakin maju. Hal ini dibuktikan sebanyak 24 anak dari SDN Atti berhasil melanjutkan studinya ke jenjang SMP di Kota Kepi pada tahun 2022. Ini merupakan angka yang luar biasa mengingat kondisi awal sekolah dan tantangan buta huruf.
Anak-anak yang melanjutkan ke SMP tersebut bahkan dilaporkan mampu meraih peringkat yang baik (seperti peringkat delapan dan sembilan dari 34 siswa di kelasnya), yang menunjukkan bahwa fondasi calistung dan pendidikan karakter yang diberikan Diana efektif. Pencapaian ini tidak hanya menjadi kebanggaan bagi sekolah, tetapi juga menginspirasi masyarakat di Kampung Atti mengenai pentingnya pendidikan.
Sampai saat ini Diana masih melakukan hal yang sama dan jaringan juga sudah mulai aktif sehingga dapat digunakan untuk meningkatkan pendidikan melalui literasi digital, inovasi yang dilakukan bu guru Diana melalui perpustakaan merah putih tidak hanya sekedar edukasi namun memiliki arti penting bahwa calistung itu sangat penting. Semoga saya dan guru-guru lain mampu melakukan hal yang sama bahkan lebih dari yang dilakukan bu guru Diana. Semoga tidak ada lagi anak yang putus sekolah.
#SatukanGerakTerusBerdampak #KitaSATUIndonesia
#APA2025-ODOP
#APA2025-ODOP
Posting Komentar
Posting Komentar