Ide utama di balik pajak digital adalah untuk memastikan bahwa perusahaan-perusahaan ini membayar pajak di negara tempat mereka terdaftar bukan tempat mereka mendapatkan keuntungan. Ini merupakan perlakuan yang tidak adil bagi perusahaan lokal yang sudah membayar pajak di negara tersebut.
Di sisi lain edukasi pajak sangat diperlukan di negara tempat tinggal sehingga dapat dipastikan jika masyarakat di negara tempat tinggal sadar akan kewajiban pajak dan tentunya akan membayar pajak. Faktanya, mereka yang kurang edukasi tentang pajak sering berasumsi bahwa kewajiban membayar pajak hanya untuk orang kaya. Padahal, sistem perpajakan di Indonesia berlaku untuk semua lapisan masyarakat. Contohnya, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan pada semua transaksi pembelian barang dan jasa, sehingga semua orang ikut berkontribusi. Demikian pula dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang wajib dibayar oleh pemilik aset.
Saya sendiri sebagai seorang guru di salah satu sekolah swasta Selatpanjang berusaha memberikan edukasi tentang perpajakan meskipun bukan pengampu mata pelajaran Perpajakan. Saya mengajak mereka untuk berliterasi tentang perpajakan diantaranya apa itu pajak, untuk apa membayar pajak, kewajiban membayar pajak dan bagaimana cara membuat NPWP secara online yang saat ini sudah bisa menggunakan NIK. Proses administrasi perpajakan dapat lebih sederhana dengan adanya integrasi NIK menjadi NPWP. Proses administrasi perpajakan merupakan pilar yang penting bagi kebijakan perpajakan. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Patrick L. Kelly dan Oliver Oldman. "Administrasi perpajakan adalah kunci keberhasilan kebijaksanaan perpajakan,"
Cara lain untuk mencintai pajak adalah bergabung dengan komunitas pajak mania, seperti yang dilakukan Daniel William Legawa mendirikan Komunitas PajakMania untuk mengajak masyarakat mencintai pajak melalui beragam acara dan kegiatan. Komunitas ini menyediakan ruang untuk ngobrolin isu perpajakan lebih santai dan mengasyikan dengan ribuan anggota yang berasal dari berbagai kalangan, mulai dari pemilik usaha, konsultan pajak, dosen, mahasiswa, karyawan, hingga fiskus.
“Ketika saya lulus (kuliah), saya berpikir mengapa orang-orang sepertinya enggak suka atau benci sama pajak. Harusnya dicintai. Makanya pertama kali saya bikin logo Komunitas PajakMania adalah tulisan ‘I Love Tax’. Karena saya yakin sebenarnya masyarakat ingin patuh pada pajak, ingin cinta dengan pajak, tetapi mereka mungkin bingung bagaimana memahami aturannya,” ungkap Daniel kepada Pajak.com, di kawasan Jakarta Utara (29/2).
Mengapa Pajak Digital Diperlukan?
Pajak digital diperlukan karena adanya pergeseran besar dalam cara ekonomi beroperasi. Dulu, bisnis harus memiliki kantor fisik atau kehadiran yang nyata di suatu negara agar bisa dipajaki. Namun, di era digital, banyak perusahaan raksasa dari luar negeri bisa mendapatkan keuntungan besar dari transaksi di Indonesia tanpa harus memiliki kantor fisik. Hal ini menciptakan ketidakadilan dan celah dalam sistem perpajakan.
Pajak digital memastikan bahwa perusahaan-perusahaan digital global yang mendapatkan keuntungan dari pasar Indonesia turut berkontribusi pada pendapatan negara. Ini menyamakan kedudukan dengan perusahaan lokal yang beroperasi secara fisik, sehingga persaingan bisnis menjadi lebih adil.
Ekonomi digital berkembang sangat pesat. Dengan mengenakan pajak atas transaksi digital, pemerintah dapat mengumpulkan pendapatan baru yang signifikan. Dana ini nantinya dapat digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur, layanan publik, dan berbagai program sosial, yang semuanya akan dinikmati oleh masyarakat.
Potensi Penerimaan Negara dari Pajak Digital
Indonesia memiliki salah satu ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara. Transaksi melalui e-commerce, layanan streaming, iklan daring, dan aplikasi keuangan digital (fintech) terus meningkat, menciptakan celah pajak yang besar. Sejak 2020 pemerintah telah menunjuk perusahaan digital asing, seperti Google, Netflix, dan Spotify, untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas produk dan layanan digital yang mereka jual di Indonesia.
Data ini dibuktikan oleh Ruruh Handayani di laman pajak.com mulai dari 31 Desember 2024, penerimaan negara dari sektor usaha ekonomi digital alias pajak digital mencapai Rp32,32 triliun. Jumlah tersebut terdiri dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang mencapai Rp25,53 triliun, pajak kripto sebesar Rp1,09 triliun, pajak fintech senilai Rp3,03 triliun, serta pajak yang dipungut melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) sebesar Rp2,85 triliun.
Lebih jauh, tahun 2025 menunjukkan sinyal positif untuk kepatuhan pajak sukarela. Hingga 31 Maret 2025, sebanyak 11,3 juta surat pemberitahuan (SPT) tahunan wajib pajak orang pribadi telah dilaporkan, meningkat 9,2% dibanding tahun sebelumnya. DJP memperkirakan bahwa penerapan Coretax DJP secara penuh pada tahun pelaporan berikutnya akan semakin meningkatkan akurasi, efisiensi, dan jumlah pelaporan.
Data tersebut diperkuat oleh Stefany Patricia Tamba, pegawai Direktorat Jenderal Pajak di laman www.pajak.go.id. Penerimaan perpajakan hingga 19 Juli 2025 tercatat sebesar Rp1.229,2 triliun atau 53,8% dari target APBN 2025 sebesar Rp2.284,9 triliun. Meski hanya tumbuh 3,1% (yoy), perlambatan ini merupakan konsekuensi dari lonjakan restitusi, volatilitas komoditas, serta proses migrasi dan penyesuaian sistem pelaporan ke Coretax DJP. Data per Mei 2025 bahkan mencatat kontraksi penerimaan sebesar 10,13% dibanding periode sama tahun sebelumnya, mengindikasikan kompleksitas transisi. Ini merupakan langkah progresif untuk memastikan setiap aktivitas ekonomi di ranah digital ikut berkontribusi pada kas negara.
Akankah Pajak Digital Menjadi Solusi?
Meskipun terdengar menjanjikan, penerapan pajak digital juga menghadapi beberapa tantangan serius. Setiap negara memiliki aturan pajaknya sendiri, sehingga ada risiko tumpang tindih peraturan yang bisa menimbulkan kebingungan dan beban administrasi bagi perusahaan. Jika suatu negara memberlakukan pajak digital secara unilateral, hal ini dapat memicu respons balasan dari negara lain, yang bisa berujung pada "perang dagang" atau konflik tarif. Beberapa pihak khawatir bahwa perusahaan-perusahaan digital akan meneruskan beban pajak ini kepada konsumen, sehingga harga layanan digital (seperti langganan streaming atau iklan online) menjadi lebih mahal.
Mengingat kompleksitas ini, komunitas internasional, di bawah koordinasi Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), sedang berupaya merumuskan solusi global yang seragam. Salah satu proposal yang dibahas adalah "Pilar Dua." yang menetapkan tarif pajak minimum global untuk perusahaan multinasional. Pajak digital adalah langkah maju untuk menjawab tantangan ekonomi modern. Namun, solusi terbaik kemungkinan besar bukan datang dari tindakan sepihak, melainkan dari konsensus global yang adil dan dapat diterapkan oleh semua negara.
Referensi:
https://www.pajak.com/pajak/komunitas-pajakmania-ajak-masyarakat-cinta-pajak/Langsung ke
isi
https://artikel.pajakku.com/djp-berhasil-kumpulkan-pajak-digital-1457-triliun-hingga-agustus
2023
https://www.pajak.com/pajak/pemerintah-raup-rp3232-t-dari-pajak-digital-hingga-desember
2024/
https://www.pajak.go.id/id/artikel/dari-layar-lebar-menuju-era-perpajakan-digital
https://www.pajak.go.id/index.php/id/artikel/melangkah-maju-dalam-perpajakan-manfaat- pemadanan-nik-dan-npwp
Artikel ini diikutsertakan pada Lomba Menulis Artikel Perpajakan Tahun 2025 dengan tema Masa Depan Penerimaan Negara Indonesia di Era Digital yang diadakan oleh djp.
Posting Komentar
Posting Komentar