..

Cerpen Horor : Kain Gendong Mbah Wedok

1 komentar



Aku terus menyusuri jalan di tengah gulita malam, rasa-rasanya telah lama aku berjalan, tak tahu entah sampai kapan. Kupastikan tanganku terus meraba dinding-dinding di sekitarku, dindingnya retak, catnya pun terkelupas. Aku yakin tempat ini pasti sudah lama sekali tidak di huni, dan sepertinya ini lorong. Sebab sedari tadi aku berjalan dan belum menemukan sesuatu yang menghalangi jalanku. Lorong ini panjang sekali.
“Tempat apa ini? Kenapa tidak ada cahaya sama sekali? kenapa tiba-tiba aku ada disini? apa ini? Lumut? Aih… menjijik kan sekali. Apa ini yang berjalan di sekitar lenganku, aku berusaha meraihnya dan akhirnya kudapatkan, langsung saja ku hempaskan ke lantai, dan menghilang. Entah apa itu, sepertinya ulat bulu. Ku yakin bahwa itu memang ulat, sewaktu kecil aku pernah digigit ulat bulu dan rasanya gatal sekali. Jika memang ulat pasti tubuhku tidak setenang ini.”

Belum lagi pikiranku tentang ulat itu hilang, tiba-tiba saja…ada suara yang mengganggu telingaku.

“Mak, Emak dimana? Cepat kesini Emak, aku kedinginan.”

Suara itu, itu pasti suara Nadhira, dimana dia? Kedinginan? Ingatanku mulai pulih, terakhir kali aku menggendong Nadhira selepas mandi hujan dengan kain. Tiba-tiba saja tubuhnya menggigil, ia kedinginan. Aku sangat mencemaskannya dan ku bawa Ia ke rumah sakit, namun tak kutemukan rumah sakit itu. Rumah sakit? Sejenak aku berpikir, jika ku bawa Ia ke rumah sakit, pasti saat ini aku sudah berada di sana. Namun apa yang terjadi, bukankah rumah sakit tak kunjung ku temukan? Dan…Ya, nenek itu. Di mana nenek itu? Bukankah dia yang akan mengantarkanku ke rumah sakit? Lantas, kemana dia? Dan aku?mYa Allah, beri aku petunjuk Mu, sebenarnya apa yang terjadi dengan ku saat ini? Di mana Nadhira? Bukankah tadi aku menggendongnya. Kain itu, harus kucari kain itu.

Perlahan aku tetap berjalan, seperti orang yang kehilangan kedua retinanya, gelap sangat gelap. Aku harus berusaha dan terus berusaha menemukan Nadhira. Ku susuri jalan, dan aku tersandung. Pintu? Ya, ini pintu, pintunya terbuka, Alhamdulillah. Ku raba sekitarnya dan ku temukan korek api. Langsung saja kunyalakan dan ada damar di sudut kamar itu. Alhamduliilah, akhirnya ada penerangan.

Seketika itu aku tercengang dengan keadaan di sekitarku. Padahal sebelumnya aku membayangkan ini adalah bangunan kuno, dan tiba-tiba berubah menjadi bangunan megah yang spektakuler. Langkah demi langkah, ku perhatikan dengan detail barang-barang yang ada dalam ruangan itu.

“Masha Allah…bangunan apa ini? Megah sekali, indah, luar biasa. Pintu kamarnya dihiasi dengan ukiran zaman dahulu, terlihat estetis. Aku pernah melihat ukiran ini di kamar mbah wedok. Lemarinya di ukir dengan ukiran yang sama, ukiran gebyok katanya, ukiran ini berasal dari jawa kuno dan memiliki arti khusus, hanya orang tertentu yang mampu menafsirkannya, dan lemari itu pun sudah puluhan tahun usianya, namun tetap kokoh.”

Mbah wedok memang penyuka barang-barang antik, termasuk kain gendong yang diberikannya waktu itu padaku, sesaat sebelum Ia menghadap sang Ilahi. Kain dengan warnanya yang khas, hijau, lembut sejuk dipandang mata. Tenunannya pun bukanlah tenun sembarangan, tidak akan ditemukan di kain manapun. Karena itu, aku harus menjaganya. Kata mbah wedok, warna kainnya akan tetap sama sampai kapanpun. Usahakan agar kain tidak robek. Namun, belum sempat menjelaskan apa yang terjadi jika robek, mbah wedok telah menghembuskan nafas terakhirnya.

Saat tengah menikmati ukiran-ukiran indah itu, sampailah aku pada lemari tua, lemari yang sama persis ada di kamar mbah wedok. Ku dengar ada suara anak kecil minta tolong dalam lemari itu, sangat jelas ku dengar. Sayup-sayup seperti suara Nadhira. Bergegas aku langsung membuka lemari itu. Dan, ku temukan seorang anak berdarah-darah sambil memeluk erat kain gendong yang sedang ku cari. Ku rampas kain gendong dari pelukannya, dan ternyata dadanya bolong. Aku menjerit histeris, ketakutan sangat ketakutan. Ku beranikan diri menolong anak itu, namun seseorang menarik tanganku dan kami pun bersembunyi di balik dinding lemari itu.

“Kau, suster? Sedang apa kau disini? Anak itu? Kita harus menolongnya.”

Aku berusaha mengajak suster itu agar mau menolongnya, lantas dia malah membungkam mulutku dan menyuruhku jangan bersuara sedikitpun.

“Hssssstttttt…diamlah, dan jangan bersuara, ini tidak seperti yang telihat, semua ini palsu. Ini hanya akan membawamu tinggal di alam ini selamanya, sepertiku. Apa kau mau?”

“Alam? Alam apa? Seperti kau? Kau ini siapa? Apa yang terjadi padaku? Aku hanya ingin anak ku kembali, pulang bersamaku.”

“Anak? Anak siapa? Ku pastikan anakmu baik-baik saja dengan keluargamu. Kau lihat kain itu, kain yang ada padamu, lihat ujung kain itu robek, kain itulah yang membawamu kesini, ke alam ini, alam ghaib. Karena itu jangan berisik, kelak mereka tahu jika kau ada disini, kau tidak akan pulang sama sepertiku. Aku juga mempunyai anak, punya keluarga, keluarga kami sangat bahagia, cincin ukiran ular ini yang membawaku kesini. Milik mertuaku. Ia jahat, ia berusaha melenyapkanku dan akhirnya mengirimku ke alam ini. Sesekali aku bisa kembali kedunia ku yang sebenarnya, dan kau tahu, aku seperti mayat hidup terbaring dalam kamar tidurku dan hanya peralatan dokter yang membuat jantungku tetap berdetak, aku hanya perlu sadar, dan bangun dari alam ini, namun aku tidak tahu caranya, mungkin kau bisa membantuku dan kita keluar dari sini.”

“Masha Allah, aku mau pulang suster, tolong aku, aku gak mau ada disini.”

Air mata membanjiri wajahku dan terpaksa aku membungkam mulutku sendiri agar tidak terdengar mereka, makhluk astral itu.

“Lantas, siapa anak itu? Anak yang meminta tolong padaku.”

“Itu bukan seoarng anak, itu Iblis. Ia tahu ada makhluk lain disini, kau bukan manusia biasa, karena itu Ia membutuhkan jantungmu yang nantinya akan diberikan pada anak Iblis, agar mereka semakin kuat, kelak nanti anak Iblis itu menikah dan memiliki keturunan dengan kekuatan luar biasa. Tadinya mereka akan membunuhku, namun bukan aku yang mereka cari tapi kau, karena itu mereka membawamu kesini melalui alam mimpi, alam bawah sadar. Jasadmu mungkin sama sepertiku. Terbaring lemah tak berdaya, dan pastinya keluargamu sedang menangisimu saat ini. Akan kuberitahu caranya nanti, bagaimana kembali kealam mu, namun hanya dalam hitungan menit, dan kau bisa menyaksikannya sendiri. Diam lah, ada yang datang.”

Ku lihat dia, Iblis itu dengan seorang nenek. Iblis itu sangat buruk, hitam. Wajahnya hancur, tak berupa lagi. Kuku-kukunya sangat tajam hingga menyentuh lantai. Kakinya juga aneh, bengkok, seperti huruf O dan jalannya tak beraturan. Ia sedang berdebat sengit dengan seorang nenek, dan ya Allah…Ia menghantam nenek tua itu hingga terseret. Nenek? Itu mbah wedok. Mbah… tanpa sadar aku menjerit sejadi-jadinya. Iblis itu? Iblis itu menyiksa Mbah wedok. Bagaimana mungkin? Bukankah mbah wedok sudah meninggal. Lantas apa ini? Apa yang kulihat ini?

“Lari Ndok…lari. Bawa kain gendong itu dan bentangkan di sisi tangga tepat pada lingkaran jatuhnya cahaya. Cepat pergi! Mbah wedok memintaku untuk lari. Suster itu hanya terdiam di balik dinding seorang diri. Aku menarik tangannya, namun apa yang terjadi? Hanya tangannya yang kudapatkan, terpisah dari jasadnya. Seketika itu juga ia memintaku untuk lari. Saat itu aku terkejut dan sangat heran. Ia juga memintaku untuk melepaskan cincin naga yang ada di jari tangannya bersama ku saat ini.”

Mengerikan, ini sangat mengerikan. Bagaimana mungkin aku bisa mengalami hal ini dalam hidupku. Makhluk itu, suster, iblis, nenek, ruangan ini, rumah sakit, mbah wedok, ah…entahlah. Entah bagaimana mereka membawaku kesini. Saat ini yang harus kulakukan adalah mendengarkan kata-kata nenek. Harus ku cari dimana cahaya itu berada. Aku ingin pulang. Pulang…

Iblis itu terus saja mengejarku. Aku berlari dengan sangat kencang, kubacakan ayat-ayat suci agar Ia berhenti mengejarku. Kemana arah kaki ku, aku tak mengerti biarlah. Aku hanya ingin pulang, melihat anak-anak ku. Saat mengingat mereka, ku dengar suara itu lagi, suara yang selalu saja memanggilku Emak…emak…tolong aku. Ku dengar lagi suara dari arah lain, suara mbah wedok yang meyakinkanku agar tetap pada tujuanku, jangan dengarkan suara itu, suara yang menyerupai anak ku. Itu hanya kamuflase, permainan Iblis. Agar Ia hidup abadi.

Sembari berlari, dengan sangat ketakutan ku beranikan diri mengambil cincin itu dari tangan yang terpotong yang kubawa saat ini. Akhirnya berhasil, cincin itu terlepas dari jari tangan. Ku lempar potongan tangan itu dan cincinnya ku genggam dengan sangat kuat, terbayang wajah suster yang menolongku, ia tersenyum wajahnya terlihat senang dan Ia mengucapkan banyak terima kasih. Belum sempat Ia mengantakanku seperti janjinya, namun aku yakin, aku pasti keluar dari sini.

Ku lihat di depan mataku, ada sebuah taman, taman yang luas sekali. Aku berusaha menuju taman itu dan akhirnya aku terperosok, jatuh, terjerembab dalam lubang, lubang yang sangat luas, seperti hamparan sekelilingnya tampaklah rumput-rumput hijau. Nafasku terengah-engah, sesak, rasanya sulit sekali mengatur sirkulasi udara dalam tubuhku. Aku terlentang, dan kurasakan titik-titik air. Hujan, Alhamdulillah hujan. Ini pertanda baik, bukankah setelah hujan akan ada cahaya, artinya akan ada kehidupan. Terima kasih ya Allah.

Sesaat ku nikmati air hujan yang membasahi tubuhku, tampak keluargaku yang sedang asyik bermain air hujan, mereka sangat riang. Menari-nari, bermain air, terlebih Nadhira. Ia memanggilku agar kami bermain bersama.

“Bangun Emak, bangun. Ayo main hujan bersama Nadhira, bukankah Emak suka hujan, ayo Emak bangun.”

Rasanya tubuhku ini lemas sekali, aku tak sanggup untuk bangun. Ketika Nadhira mengajakku untuk bermain hujan, seketika itu juga hujan pun berhenti dan suara minta tolong kembali terdengar olehku.

Tolong Emak, tolong….Nadhira sakit, nadhira kedinginan, tolong Emak…tolong.

“Jangan dengarkan suara itu Ndok, cepat bangun, kamu harus kuat demi Nadhira. Maafkan Mbah yang telah membawamu kesini dan memberikan kain itu. Kain itu sebenarnya kain yang membalut bayi Iblis, suster itu yang membantu bayi iblis itu lahir, namun karena kain itu robek, iblis itu marah besar, anak kesayangannya sekarat dan harus mencari jantung manusia untuk menggantikan jantung anaknya. Karena kain itu ada padamu maka ia meminta jantungmu untuk anaknya. Mbah enggak setuju karena kain itu robek bukan karena di sengaja. Lantas iblis marah besar dan menghempaskan mbah. Maafkan mbah Ndok…maafkan. Nanti setelah kamu pulang, bakar kain itu dan kubur bersama cincin naga itu.”

Aku menangis dan cepat-cepat ku hapus air mataku. Ku lihat disisi kanan taman ada tangga menuju pintu masuk rumah sakit meski bukan dari arah utama, ku lihat ada setitik sinar terang disana. Mungkin itu cahaya yang dikatakan Mbah wedok. Secepatnya aku bangun dan bergegas menuju cahaya itu, ku bentangkan kain dan aku duduk tepat diatas cahaya itu.

Mataku terbuka, ku lihat suami dan anak-anak ku mengelilingiku di samping tempat tidur, mereka menangis. Nadhira, yah itu nadhira, ia tidur di sampingku sambil memelukku.

“Nadhira, bangunlah. Ini Emak. Apa kabarmu? Kau sudah sembuh?”

“Emak…Alhamdulillah, akhirnya Emak bangun. Sudah dua minggu Emak tidak sadarkan diri. Ayah…Emak bangun Yah.”

“Alhamdulillah ya Allah, akhirnya masa kritismu berakhir dek. Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau tiba-tiba pingsan saat menggendong Nadhira.” Jelas suamiku.

Pingsan? Aku pingsan? Sulit memercayai ini semua. Tetapi ya sudahlah yang terpenting saat ini aku sudah berkumpul kembali bersama keluargaku. Suamiku segera memanggil dokter dan suster untuk mengecek keadaanku.

Mataku terbelalak ketika melihat suster yang sedang mengecek denyut nadiku. Suster itu adalah suster yang menolongku dari anak iblis. Kuingat cincin itu, dan kurasakan ada dalam genggaman tanganku, dan kain itu ada di sampingku.

Ia tersenyum dan berbisik di telingaku, mengucapkan terima kasih. Aku menganggukkan kepala dan membalas senyumannya. Beberapa hari kemudian. Aku pun pulang kerumah dan membakar kain gendong mbah wedok, menguburnya bersama cincin itu. Akhirnya aku bisa menikmati hidupku bersama anak-anak ku.

Ku lihat Nadhira bermain dengan sangat riang bersama teman-temannya, berlari-lari di sekitar rumah. Saling berebutan mainan, dan yang membuatku terkejut adalah Nadhira memegang sisa kain yang terbakar.











                                                                        TAMAT

Maya Fasindah
Blog seorang guru dan alhamdulillah seorang penulis yang masih terus belajar dan belajar.

Related Posts

1 komentar

  1. Ending nya agak plot twist ya mba.. Jadi? Kok masih ada kain gendongnya?

    BalasHapus

Posting Komentar