..

Redum

 

Katakanlah duhai nestapa, jika rindu ini baik tolong keluarkan aku dari penjara hati ini yang bahkan menyentuh dindingnya saja aku tak mampu.

Apa yang akan dilakukan oleh gadis tua sepertiku ketika jatuh cinta? Meski ini bukanlah pertama kalinya, namun inilah rasa yang paling aneh dan menegangkan diantara rasa-rasa yang pernah ada dulu, dan jawabannya masih tetap sama. Menunggu. Entah bagaimana caranya diriku menantikan kata itu, menunggu hatiku yang siap mengutarakannya atau menunggu sinyal-sinyal yang menurutku itu memang pantas ku dapatkan. Jatuh cinta bagi gadis seusiaku memang aneh walaupun sebenarnya masih wajar, tetap saja sakit menurutku.


Tak terbayang bagaimana rasanya ketika berhadapan langsung dan berbicara meskipun hanya membahas tugas kuliah yang harus dikerjakan. Gadis tua sepertiku, dengan garis-garis keriput sudah mulai menampakkan tanda-tandanya, apa mungkin menggenggam tangan pria yang kucintai dan mencintaiku? Apa mungkin menautkan hatinya untukku? Klise.

Aku, Purnama Destiyanti, gadis tua yang berusia 33 tahun membawakan mata kuliah sastra Indonesia di salah satu Universitas ternama di kota Medan yang penuh dengan kata-kata cinta masih sendiri. Begitulah analogi teman-teman dosen seusiaku yang telah memiliki puta-putri tambatan hatinya. Entahlah, sudah berapa kali aku jatuh hati, tetapi selalu saja berakhir dengan patah hati.

Katakanlah, aku gadis naif yang selalu takut akan rasa yang pernah hadir dulu lalu terjatuh, dan kini kembali terulang? Akankah hati ini berlabuh? Bagai perahu lengkap dengan dayungnya, namun tak satu pun ingin mengayuhnya.

“Purnama? Purnama? Ibu Purnama yang terhormat dan terkasih, apa kabar?” seseorang membuyarkan lamunanku, dan ternyata dia adalah Bu rektor.

“Ya Bu.”

Aku sangat terkejut ketika suara lembut itu menghampiri tepat di telinga kananku. Ya Allah, sungguh aku malu sekali, di ruang rapat aku malah melamunkan nasibku, nasib cinta yang masih menunggu hitam ataupun putih diantara abu-abu yang menyelimuti. Meski Bu rektor Aini adalah teman baikku, dunia kerja harus tetap profesional, mengesampingkan masalah pribadi dengan tangggung jawab yang sudah aku lalui selama 5 tahun terakhir.

Retinaku seketika bergerak ke kanan dan kekiri, memerhatikan rekan-rekan di sekitarku, ada yang menatap dengan senyum kecut, ada yang mengetuk-ngetuk jari telunjuknya seolah mengisyaratkan bahwa aku harus berpikir matang, namun ada pula yang senyum-senyum menggelengkan kepalanya. Aini mengakhiri rapat dengan keputusan bahwa tidak ada lagi mahasiswa yang mendapatkan nilai C.

Ah, semua ini tak akan terjadi jika aku tak memikirkannya. Mengapa bukan hal lain saja yang mengganggu pikiranku, mengapa harus dia. Yah, pria itu. Pria yang usianya 12 tahun lebih muda dariku, kini menjadi mahasiswaku di jurusan Hukum karena sesuatu hal Ia pindah dari kuliahnya yang lama.

Brahmana, yang sejak setahun ini benar-benar menggelisahkan hatiku, terjerembab di dalamnya. Bagaimana mungkin mahasiswa jurusan hukum mampu menulis beberapa bait syair yang indah dan membuat hatiku runyam karena itu. Yah, runyam karena aku masih bertanya-tanya dalam hati apakah benar bait-bait itu untukku, atau hanya perasaanku saja? Bukankah lirik dan lariknya mengisyaratkanku, bahkan simbol-simbol kata itu juga bagian dari diriku. Brahmana membuatku jatuh hati. Mencintai diam-diam adalah caraku saat ini, entah sampai kapan.

Naluriku sebagai wanita dewasa tentu saja aku berhak mencintai, namun egoku jauh lebih besar karena wanita tak pantas untuk mengatakannya, terlebih lagi aku adalah seorang dosen dan jauh lebih tua darinya. Hatiku benar-benar terpenjara saat ini, tidak kah kau memberiku sedikit celah Brahmana? Ouh…apa aku sudah mulai gila sekarang, bicara pada hatiku sendiri.

Tiba-tiba saja gawaiku berdering, Aini memanggilku.

“Kau dimana Dotu? Ke ruangan ku sekarang ya, ada beberapa hal penting yang ingin ku bicarakan denganmu.”

“Huh…dasar kau, kalau bukan teman baik ku mungkin aku sudah mengundurkan diri dari kampus ini. Terus saja memanggilku dengan kata-kata itu. Aku gak akan datang, gak mau titik gak pakek koma.”

“Uluh…uluh…merajok apa merujak? Merajok…merajok…minta kawin..”

“Aini….tunggu aku di ruanganmu ya, akan ku patahkan tulang lidahmu itu.”

“Ha…sejak kapan lidah bertulang? Udah, gosah banyak bacot, ku tunggu kedatanganmu.”

Aku pun mematikan gawaiku dan bergegas pergi ke ruangan Aini, Bu rektor yang terus saja memanggilku dengan sebutan Dotu, si dosen tua. Aku penasaran dengan hal yang ingin dibicarakannya padaku. Karena terlalu cepat menaiki anak tangga sampai-sampai aku melompati satu anak tangga, dan akhirnya terjatuh. Begitu terkejutnya aku saat ada seorang pria di belakang yang menolongku dan ternyata dia adalah Brahmana. Lelaki yang membuat mulutku terkunci saat berhadapan dengannya.

Brahmana? Ya, ini benar-benar Brahmana, tak kusangka sedekat ini dengannya. Wajahnya adem, tatapannya menenangkan, senyumannya menawan, gayanya pun enak dipandang mata seenak kue sus buatan Ibu. Ah, rasa apa ini? Jantungku berdetak begitu cepat dan hati ini seperti melayang, melayang.

“Maaf Bu, Ibu gak kenapa-kenapa kan? Lain kali hati-hati ya Bu.” Tanya nya melemparkan senyum itu.

Aku hanya mengangguk, mulutku benar-benar terkunci jika berhadapan dengannya. Bahkan ketika mengumpulkan tugas pun aku tidak pernah mengucapkan terima kasih padanya, padahal aku selalu mengucapkan hal itu pada mahasiswa-mahasiswa ku yang lain.

Brahmana memang berbeda dengan lelaki yang pernah ku kenal sebelumnya, bukan karena dia lebih muda dariku, tetapi karena dia mampu menempatkan dirinya sebagai mahasiswa dan sebagai pria pujaan hatiku bahkan saat ini dia bisa dikatakan sebagai sastrawan, karena syair-syairnya banyak terpampang di ujung-ujung mading hampir semua jurusan bahkan di beberapa media masa. Ia juga sering diundang acara talk show Komunitas Kata-Kata yang isinya hanya dosen sastra dan berbagai sastrawan di beberapa daerah terpilih, termasuk aku dan dirinya. Meski ia masih terbilang baru di dunia sastra namun karya-karyanya mampu meluluh lantahkan hati penikmat sastra terutama puisi.

Pandanganku tak lepas dari wajahnya saat itu, saat Ia membacakan sebuah puisi “Hibat Halayuda.” Puisi yang benar-benar membuatku terbuai akan kata-katanya. Andai saja, rasa itu untukku dan rasaku untuknya telah menjadi satu dalam dunia rasa, rasa cinta yang penuh kasih dan penuh sayang, oh…begitu indahnya ku rasakan dunia ini.

Apa yang dilakukannya disini, bukankah ini menuju ruangan Aini. Apa dia juga diundang Aini ke ruangannya? Pertanyaan demi pertanyaan muncul dalam benakku. Dia benar-benar memasuki ruangan itu. Dan kami pun berada di tempat yang sama.

“Selamat sore Ibu Purnama dan Brahmana.”

“Sore Bu Aini.” Jawab kami bersamaan.

Aini tersenyum-senyum memandang wajahku yang saat ini seperti kepiting rebus, merah…tapi tak merona. Ia paham benar dengan apa yang terjadi padaku saat ini.

“Terima kasih saya ucapkan kepada kalian berdua karena telah memenuhi undangan yang saya pinta. Saya bermaksud untuk mengutus kalian atas nama kampus kita tercinta UNIVA, untuk mengikuti Festival Literasi Kampus yang akan diadakan di Bandung pada pekan mendatang. Festival ini hanya diikuti oleh 10 Universitas dengan masing-masing utusan 2. 1 untuk dosen dan yang satunya lagi untuk mahasiswa. Saya sudah melakukan riset di berbagai jurusan, dan saya putuskan kalianlah yang berhak mengikuti festival itu, biaya akomodasi dan penginapan di tanggung oleh pihak kampus, jadi kalian tidak bisa menolak perintah ini. Ini sudah keputusan kami bersama, dan keputusan ini tidak dapat diganggu gugat. Kalian hanya menandatangani persetujuan yang kami buat di kertas yang telah saya persiapkan ini. Harapan saya nantinya kalian mampu mengharumkan nama Universitas kita bahkan menjadi juara. Saya mohon jangan menolak agar prosesnya dapat berjalan lancar. Kalian dapat mempersiapkan diri mulai hari ini, terima kasih.”

“Baik Bu, saya akan melaksanakan perintah Ibu, doakan kami ups maaf maksudnya saya dan Bu Purnama dapat mengharumkan kampus kita, untuk itu saya mohon pamit dan akan mempersiapkan semuanya.”

Pria itu pun berlalu pergi meninggalkan kami di ruangan yang full AC. Ruangan memang dingin, tetapi hatiku mulai gerah karena keputusan Aini, bukankah masih banyak dosen yang lebih pantas dariku.

“Aini, apa kau sudah gila? Bagaimana mungkin aku berkolaborasi dengannya menciptakan puisi dan membacanya bersama-sama, ini pasti butuh banyak waktu dan enggak mungkin selesai hanya seminggu, dan kau tahu kan mulutku terkunci jika kami bertemu, lantas aku harus gimana? Aini…jangan cuman senyum dong, lagian kenapa harus aku, masih banyak dosen yang lain yang lebih pantas, ada bu Lisda, ada bu Rara, ada bu Sinta bahkan bu Rebecca juga bisa, tolong dong Aini, batalkan saja atas namaku.”

“Bukankah tadi sudah ku katakana bahwa keputusan ini tidak dapat di ganggu gugat, jadi saranku yah terima dan jalani saja siapa tahu kalian berjodoh. Maaf aku tidak bisa menemanimu di ruangan ini karena aku harus pergi dengan suamiku, ada keperluan mendadak. Bye..bye…Assalamualaikum.”

Suami? Kata itu, aku benci. Suami yang disebutnya itu adalah lelaki yang pernah melukai hatiku, aku hampir bertunangan dengannya, namun apa? Dia membatalkan pertunangan kami dengan alasan bahwa Ibunya tidak setuju. Dan yang paling mengejutkanku dan hampir membuatku pingsan saat aku menghadiri pesta pernikahan Aini, lelaki yang menjadi suaminya sekarang adalah lelaki yang telah mencabik-cabik hatiku, namun ini masih ku rahasiakan mengingat Aini adalah teman baikku dan sudah ku anggap seperti kakak ku sendiri.

Aku dan Brahmana semakin dekat karena kami harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang. Mungkin karena ini pula rasa canggungku mulai hilang dan bibirku gak keluh lagi. Tetapi tetap saja rasa gak bisa di bohongi.

Tibalah saatnya kami berada di kota Bandung untuk mengikuti lomba festival literasi itu, dan aku tak menyangka mampu berdampingan dengannya dan kami meraih juara 2. Saat itu aku ingin mengatakan isi hatiku yang paling dalam tanpa memikirkan jabatan dan usia. Ketika bibir ini akan bicara tiba-tiba saja datang seorang gadis cantik yang sedang hamil langsung memeluknya dan berkata “Selamat ya Pa, akhirnya Papa menang, aku kangen.”

Ya Allah, beginikah nasibku? Bahkan airmata sudah tak sanggup mengalir dari peraduannya. Hujan pun tak kunjung datang membasahi, redum.




























Maya Fasindah
Blog seorang guru dan alhamdulillah seorang penulis yang masih terus belajar dan belajar.

Related Posts

Posting Komentar